RUU TPKS Tidak Mengatur Pidana Pemerkosaan, Komnas Perempuan Lontarkan Kritik
Ilustrasi-(Foto: DOK ANTARA)

Bagikan:

ACEH - DPR memutuskan tidak memasukkan pidana pemerkosaan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebab sudah terdapat dalam UU KUHP. Komnas Perempuan mengkritik kebijakan tersebut.

Menurut Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, langkah tersebut merupakan kemunduran. Dia menilai, jika pengaturan pemerkosaan tidak ada, bisa dikatakan bahwa para korban tindak pidana tersebut belum sepenuhnya terlindungi oleh RUU TPKS. 

"Meskipun nanti sudah disahkan karena masih harus menunggu pengesahan RUU KUHP," terang Andy, Senin, 4 April, dikutip VOI.

RUU TPKS dan Pidana Pemerkosaan

Andy mengatakan, keberadaan RUU TPKS seperti 'macan ompong' sebab banyak pihak beranggapan RUU ini tidak mencantumkan sanksi berat bagi pelaku pemerkosaan. 

"Kesulitannya memang ini. Karena di saat bersamaan ada RUU KUHP jadi juga banyak pihak menggantungkan soal perbaikan pengaturan tentang (pemerkosaan) ini di revisi KUHP, yang kita belum tahu kapan akan diketok, mengingat prosesnya juga bisa berlarut-larut," jelasnya. 

Terkait hal tersebut, Komnas Perempuan menyarankan pemerintah dan DPR tetap memasukkan pidana pemerkosaan ke dalam RUU TPKS. Dia mengatakan, ini menyangkut hal yang sangat esensial demi perlindungan terhadap perempuan dan anak yang rentan menjadi korban.

"Sekurangnya ada pengaturan tentang pemaksaan hubungan seksual yang dapat digunakan sebagai payung sebelum pengaturan lebih lanjut di revisi KUHP," jelas Andy. 

Dia menambahkan, waktu selama menunggu pengesahan, dalam banyak kasus, jadi masalah baru. Sebagai contoh, jika dibuat tidak berdaya dalam KUHP akan jadi kasus persetubuhan yang tidak masuk dalam cakupan RUU TPKS. 

"Kecuali jika korban seorang anak, maka masih bisa akses beberapa kemajuan di RUU TPKS," tandasnya.

Pidana Pemerkosaan Diatur dalam RKUHP dan UU Kesehatan

Sebelumya, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Aditya, menjelaskan bahwa pidana tersebut akan diatur dalam RKUHP dan Undang-Undang Kesehatan.

"Kami sepakat supaya tidak tumpang-tindih pengaturan normanya," ujar Willy, di Jakarta, Senin, 4 April.

Hal itu merujuk pada pernyataan dari Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej yang menyebut tindak pidana pemerkosaan akan diatur di dalam RKUHP untuk menghindari tumpang-tindih antara peraturan perundang-undangan.

"Tidak lazim satu norma diatur di dalam dua undang-undang. Maka, kami ikut apa yang menjadi pemikiran pemerintah dalam hal ini," jelas Willy. 

Sementara, sambung politikus NasDem itu, tindakan aborsi juga sudah diatur dengan jelas di dalam Undang-Undang Kesehatan.

"Korban pemerkosaan tetap diperbolehkan untuk aborsi di dalam UU Kesehatan. Terkait tindakan aborsi, nanti sepenuhnya merujuk pada UU Kesehatan saja," katanya.