ACEH- Pemerintah mempersilakan umat Islam melakukan salat tarawih berjemaah di masjid saat bulan Ramadan tahun ini. Kabar tersebut disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Tahun ini umat muslim dapat kembali menjalankan ibadah salat tarawaih berjamaah di masjid dengan tetap menerapkan protokol kesehatan," terang Jokowi melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Rabu, 23 Maret.
BACA JUGA:
Dia menjelaskan, kebijakan tersebut diambil setelah penyebaran kasus COVID-19 di Indonesia mengalami penurunan. Kabar baik tersebut menjadi alasan pemerintah melakukan pelonggaran, termasuk izin tarawih berjemaah di masjid.
"Situasi pandemi yang membaik juga membawa optimisme menjelang bulan suci Ramadan," lanjutnya.
Persiapan Terkait Tarawih Berjemaah di Masjid
Kebijakan menjelang Ramadan ini mendapat sorotan dari epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Menurutnya, ada beberapa hal yang mesti dilakukan demi mencegah peningkatan kasus, terlebih lagi COVID-19 bisa menular tanpa menimbulkan gejala apa pun.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengedukasi para marbot dan pengurus masjid mengenai protokol kesehatan. Menurut Dicky, penting bagi pihak terkait melakukan hal tersebut supaya tidak terjadi penyebaran virus.
"Ini akan sangat penting untuk disiapkan sebelumnya, yaitu meliterasi para marbot, pengurus masjid tentang protokol kesehatan," terang Dicky saat dihubungi VOI, Kamis, 24 Maret.
Selain itu, tambah Dicky, penting bagi masjid menyiapkan sirkulasi udara dan ventilasi yang cukup. Dengan demikian, udara tetap terjaga karena COVID-19 menyebar melalui airborne.
Berikutnya, masjid yang akan menggelar salat tarawih juga diharapkan membuat sistem pendaftaran bagi jamaah yang akan salat di sana. Jika hal ini tak mungkin dilakukan, PeduliLindungi bisa menjadi aplikasi untuk tracing dan pendataan.
"Contoh di Australia, orang yang akan ke masjid itu scan barcode, harus sudah divaksin, dan tidak ada kontak dengan kasus. Selalu begitu," ujarnya.
"Bahkan ada masjid yang sudah punya jamaah tetap yang mendaftar via email. Itu maksudnya untuk memastikan bahwa orang tersebut status imunitasnya, dalam hal ini vaksinasi dan boosternya sudah terpenuhi dan tidak dalam kasus kontak (erat, red)," imbuh Dicky.
Lebih lanjut, komunikasi risiko juga harus dibangun kepada masyarakat. Dicky mengatakan, semua pihak harus diingatkan meski kasus COVID-19 mengalami penurunan bukan berarti virusnya sudah tidak ada.
"Virus tetap ada. Sehingga harus diperhatikan apalagi mayoritas yang terinfeksi adalah mereka yang tidak bergejala," tegasnya.
Komunikasi Masyarakat
Dalam membangun komunikasi risiko ini, Dicky menilai, peran para tokoh agama sangat dibutuhkan. Mereka harus membantu pemerintah untuk menyampaikan pada jemaah yang akan salat, jika tak merasa sehat sebaiknya beribadah di rumah saja.
Tak hanya tokoh agama, masyarakat yang beribadah di masjid juga harus saling mengingatkan satu sama lain untuk tetap menjaga protokol kesehatan. Sehingga, ke depan, kasus COVID-19 bisa terus terjaga.
"Jadi untuk mewaspadai itu kita harus membangun komunikasi risiko. Bahwa jamaah yang akan salat, kalau merasa tidak sehat, punya riwayat kontak, harus dibangun kesadaran untuk jangan dipaksakan ke masjid," jelas Dicky.
"Kemudian juga, (jemaah, red) saling mengingatkan di lingkungan masjid itu sendiri," pungkasnya.