ACEH - Beberapa waktu lalu Komnas HAM menyatakan ada tiga atau lebih penghuni kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin, yang meninggal dunia. Informasi tersebut mereka ketahui usai datang ke lokasi dan meminta keterangan dari beberapa pihak.
"(Korban meninggal, red) diduga lebih dari tiga orang," terang Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, di Gedung Merah Putih KPK, Senin, 7 Februari, dikutip VOI.
BACA JUGA:
-
| BERITA
Fakta Mengejutkan Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat Nonaktif
01 Februari 2022, 17:29 -
| AKTUAL
Diperiksa Komnas HAM, Terbit Rencana Bisa Bicara Apa pun Soal Kerangkeng Manusia
07 Februari 2022, 12:01
Jumlah Orang Meninggal Kerangkeng Manusia Bisa Bertambah
Dia menjelaskan bahwa angka tersebut sangat mungkin untuk bertambah. Terlebih lagi, pendalaman masih terus dilakukan.
"Saat ini kami sedang mendalami lagi karena potensial juga bertambah," lanjutnya.
Dugaan korban tewas ini, jelas Anam, nantinya akan dikonfirmasi kepada Terbit. Dia berharap sang bupati nonaktif kooperatif, terlebih lagi ada berbagai dokumen yang dibawa pihaknya, termasuk dokumen yang mencatat adanya temuan kekerasan, bentuk kekerasan yang dilakukan, pola kekerasan, hingga alat yang digunakan untuk melakukan kekerasan.
"Banyak hal yang kami temukan dari kondisi, sejarah, kondisi sampai kekerasan, dan kekerasan yang hilangkan nyawa. Semoga dia (Terbit Rencana, red) kooperatif karena ini hak juga haknya dia untuk memberikan informasi apapun menurut dia," tegasnya.
Penemuan Kerangkeng Manusia di Langkat
Diberitakan sebelumnya, pemeriksaan yang akan dilakukan Komnas HAM terhadap Terbit dilakukan di KPK. Penyebabnya, Terbit saat ini merupakan tersangka dugaan suap infrastruktur di Pemkab Langkat, Sumatera Utara.
Kerangkeng manusia yang diduga sebagai bentuk perbudakan di rumah Terbit Rencana Perangin Angin terungkap usai KPK datang ke lokasi untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Alih-alih menemukan Terbit, tim KPK justru menemukan sejumlah orang yang terkurung di sebuah kerangkeng besi. Saat itu mereka mengaku sebagai pekerja sawit di lahan milik Terbit.
Selanjutnya, temuan ini dilaporkan oleh Migrant Care ke Komnas HAM. Dalam laporannya, mereka menyebut para penghuni kerangkeng manusia mendapatkan perilaku kejam seperti kekerasan, makan tidak teratur, tidak dibayar saat bekerja di kebun sawit milik Terbit dan akses komunikasi dengan orang luar dibatasi.