ACEH - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa kepolisian bisa menggunakan rekam medis tiga anak yang diduga menjadi korban pelecehan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, sebagai barang bukti.
Alasannya, jika kepolisian hanya berpedoman kepada hasil visum et repertum (VeR) dan visum et repertum psikiatrum (VeRP), korban akan sulit untuk mendapatkan keadilan. Hal tersebut diungkapkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, saat melakukan jumpa pers di Jakarta, mengutip Antara, Selasa 19 Oktober.
BACA JUGA:
“Seharusnya keterangan-keterangan dan informasi-informasi ini dioptimalkan sehingga ini bisa menjadi lebih terang kasusnya,” kata Siti Aminah.
Hasil rekam medis yang diterima oleh ibu korban melalui pemeriksaan dokter secara mandiri, terang Siti, menunjukkan diagnosis ada peradangan pada jaringan anus dan vagina para korban.
Komnas Perempuan juga mendorong kepolisian untuk memanggil dokter yang mengeluarkan rekam medis tersebut dan menjadikannya sebagai sumber keterangan ahli.
Di samping rekam medis, Komnas Perempuan mendorong kepolisian menjadikan hasil pemeriksaan P2TP2A Sulawesi Selatan terhadap kondisi psikologis tiga korban sebagai barang bukti.
Dia mengatakan, hasil pemeriksaan P2TP2A Sulawesi Selatan di Makassar menunjukkan bahwa tiga korban memberi keterangan yang konsisten dan saling menguatkan bahwa mereka mengalami kekerasan seksual oleh ayah mereka dan dua orang lainnya.
“Tidak optimalnya pengumpulan barang bukti dan alat bukti ini mengakibatkan keputusan penghentian penyelidikan dipertanyakan oleh ibu korban dan tim kuasa hukum,” kata Siti Aminah.
Korban Pelecehan Seksual terhadap Anak Sulit Mendapatkan Keadilan
Dia menegaskan pembuktian kasus yang terpaku pada aturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kerap menyulitkan para korban kekerasan seksual, termasuk tiga anak di Luwu Timur untuk mendapatkan keadilan.
“Sistem pembuktian tidak berpihak pada korban, termasuk misalnya keterangan saksi. Hal lain yang harus dilihat terkait dengan hasil pemeriksaan terhadap korban itu dijadikan dasar penghentian penyelidikan,” paparnya merujuk pada hasil visum para korban.
Hasil visum yang diperoleh kepolisian menunjukkan tidak ada kerusakan pada alat kelamin dan dubur/anus korban.
“Yang utama, rekam medis dokter yang merawat anak-anak tidak dijadikan barang bukti. (Hasil pemeriksaan) dokter tidak dijadikan (keterangan ahli), karena sangat berbeda posisi rekam medis dan visum,” kata Siti Aminah.
Walaupun demikian, ia menyadari bahwa rekam medis dalam proses penyidikan dan pembuktian kasus jika merujuk pada aturan perundang-undangan hanya bersifat sebagai penunjuk, sementara hasil visum punya kedudukan hukum yang lebih kuat.
Terkait itu, Komnas Perempuan menyampaikan hasil visum terhadap korban tidak dapat diandalkan, karena pemeriksaan VeR dan VeRP dilakukan tidak segera setelah peristiwa dilaporkan.
“Hasil VeR dan VeRP seharusnya dilakukan dalam tempo secepatnya. Apabila terlambat beberapa hari atau dimintakan pemeriksaan ulang, hasil VeR dan VeRP bisa berbeda atau tidak relevan,” terangnya.
Kasus rudapaksa tiga anak berusia di bawah 10 tahun di Luwu Timur kembali ramai dibicarakan publik setelah ada laporan jurnalistik dari sebuah media nasional yang mendalami keterangan ibu korban.
Pelaku diduga adalah mantan suami ibu korban, yang aktif bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Ibu korban membuat laporan kepada Polres Luwu Timur pada Oktober 2019. Penyidik di Polres Luwu Timur melakukan rangkaian penyelidikan berdasarkan laporan tersebut.
Polres Luwu Timur selanjutnya melakukan gelar perkara pada 5 Desember 2019. Namun, Polres menghentikan penyelidikan karena kurang bukti.
Artikel ini telah tayang dengan judul Komnas Perempuan Sebut Rekam Medis Bisa Dijadikan Bukti Menjerat Terduga Pelaku Rudapaksa di Luwu.
Selain pelecehan seksual anak di Luwu Timur, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!