ACEH - Satu stoples kripik biasanya digunakan sebagai alat pengalih perhatian saat suasana hati buruk. Makan ketika suasana hati buruk atau stres disebut emotional eating. Hal ini didefinisikan sebagai makan makanan tinggi lemak, baik berasa asin maupun manis, untuk menenangkan emosi negatif. Adakah alasan emotional eating dilakukan saat stres?
Dikutip VOI dari Psychology Today, aktivitas ini termasuk cara yang tidak sehat untuk mengatasi stres. Emotional eating berkontribusi pada kemungkinan terjadinya obesitas, kelebihan gula, dan menciptakan risiko penyakit jantung, diabetes, dan depresi. Menurut Melanie Greenberg, psikolog klinis berlisensi, berikut ini 5 alasan kenapa emotional eating sering dialami saat stres.
BACA JUGA:
Mengenal Alasan Emotional Eating Dilakukan saat Stres
1. Kurangnya waktu atau uang
Orang yang stres kadang merupakan orang yang punya banyak agenda, tetapi waktunya terbatas. Mereka bahkan hanya punya sedikit waktu untuk self-care. Karena waktu terbatas, tidak punya banyak waktu untuk makan di siang sehingga tak punya kesempatan memilih makanan sehat apalagi menyiapkannya sendiri. Alhasil, makanan cepat saji dan sekantong kue jadi alternatif yang menggiurkan.
Menurut survei yang dilakukan APA pada 2014, kelangkaan uang menyebabkan seseorang bisa memilih makanan olahan yang lebih mudah, tinggi lemak, garam, dan gula dibanding sayuran serta buah yang harganya lebih mahal.
2. Tak perhatikan kebutuhan yang sehat
Banyak tugas dan harus segera menyelesaikannya membuat kita terburu-buru, kesehatan mental terganggu, dan stres. Respons otak fight-or-flights mendesak untuk terus menjalankan tugas tanpa istirahat. Ini membuat seseorang jadi tak memperhatikan apa uang dilakukannya termasuk tak menyadari sudah makan empat potong pizza. Pada kondisi ini, otak cenderung tidak menangkap bahwa Anda sudah kenyang sehingga makan berlebihan.
3. Kurang tidur
Menurut survei, stres kerap membuat orang susah tidur atau terbangun saat malam hari. Kurang tidur bisa mengganggu fungsi leptin dan ghrelin, yaitu senyawa kimia tubuh yang mengontrol nafsu makan. Ini yang pula yang membuat seseorang jadi pemarah. Tertekan juga membuat kita cenderung suka lari ke lemari pendingin dan mencari makanan untuk menenangkan perasaan.
4. Merasa lebih lapar karena kortisol
Meningkatnya hormon adrenalin dan kortisol merupakan efek dari stres. Bahan kimia ini mempersiapkan untuk melawan penyerang atau melarikan diri. Dalam jangka waktu pendek, adrenalin membantu Anda merasa kurang lapar. Begitu efek adrenalin hilang, kortisol memberi sinyal pada tubuh untuk disuplai makanan. Akibatnya, Anda merasa lebih lapar dan berpotensi makan tanpa pertimbangan.
5. Turunnya metabolisme
Metabolisme tubuh menurun ketika stres. Sehingga lebih banyak glukosa yang siap untuk diolah menjadi energi. Maka saat banyak tugas yang perlu diselesaikan dengan sedikit waktu untuk makan. Akhirnya sekalian makan banyak tetapi penyesalan hadir ketika lingkar perut melebar.
Kelebihan lemak perut juga melepaskan bahan kimia yang menyebabkan peradangan. Ini berdampak pada kesehatan secara keseluruhan.
Greenberg memberikan saran, pertama, makanlah secara teratur sesuai jadwal. Kemudian rencanakan menu makanan Anda, dan makan dengan penuh perhatian. Di samping itu, ia menyarankan untuk mengelola stres secara sehat, bukan malah mengonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan kesehatan.