Pelaku Pemerkosaan 13 Santri Dihukum Mati, ICJR Sebut Negara Gagal Hadir untuk Korban
Sidang Herry Wirawan/Antara

Bagikan:

ACEH - Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhkan hukuman mati terhadap Herry Wirawan yang merupakan pelaku pemerkosaan 13 santri. Menurut The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), putusan tersebut hanyalah gimik karena negara gagal melindungi korban pemerkosaan.

Menurut Peneliti ICJR, Genoveva Alicia, putusan ini bahkan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan oleh korban kekerasan seksual. Penyebabnya, kata dia, hukuman itu justru menggeser fokus negara pada hal yang tidak lebih penting daripada korban.

"Karena fokus negara justru diberikan kepada pembalasan bagi pelaku alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya," terang Genoveva dalam keterangan tertulis, dikutip VOI pada Selasa, 5 April.

Hukuman Mati Pelaku Pemerkosaan 13 Santri Dinilai Bukan Solusi

Genoveva mengutip pernyataan United Nation High Commisioner for Human Right, Michelle Bachelet, yang menyatakan hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual atau pemerkosa tidak menjadi solusi.

"Meskipun dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya. Tidak ada satu pun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan," lanjutnya.

Inilah yang membuat Genoveva menyebut putusan hukuman mati terhadap Herry Wirawan sebagai sebuah gimik karena negara gagal hadir bagi korban.

"Negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan. Sebagai konsekuensi dari hal ini, negara kemudian mencoba membuktikan diri untuk terlihat berpihak kepada korban, dengan menjatuhkan pidana-pidana yang draconian seperti pidana mati," terangnya.

ICJR paham kasus tersebut memang menyulut kemarahan publik. Namun, dia menilai hal ini seharusnya tidak menjadi tolok ukur pengambilan keputusan oleh majelis hakim.

"Fokus utama kita seharusnya diberikan kepada korban, dan bukan kepada pelaku, dan hal ini yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan juga Hakim di dalam kasus-kasus kekerasan seksual," terang Genoveva.

"Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan, juga harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban sama sekali," imbuhnya.

Hukuman Mati Pemerkosa 13 Santri

Diberitakan sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung mengabulkan vonis hukuman mati terhadap pelaku pemerkosaan 13 santriwati atas nama Herry Wirawan.

Ketua Majelis Hakim PT Bandung Herri Swantoro mengabulkan hukuman tersebut setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung, yang menghukum Herry pidana penjara seumur hidup.

"Menerima permintaan banding dari jaksa penuntut umum. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," kata Herri Swantoro di Bandung, Jawa Barat.

Dalam putusan itu, hakim memperbaiki sejumlah putusan PN Bandung. Herry Wirawan juga diputuskan oleh hakim untuk tetap ditahan.

Hukuman itu sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983.

Kemudian Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan.

Selain vonis mati, Herry juga diwajibkan membayar restitusi sebesar Rp300 juta lebih. Vonis itu menganulir putusan PN Bandung, yang sebelumnya membebaskan Herry dari hukuman pembayaran ganti rugi terhadap korban tersebut.