Rusia Akan Gunakan Senjata Nuklir jika Terancam
Ilustrasi rudal nuklir Rusia. (Wikimedia Commons/Dmitry Terekhov)

Bagikan:

ACEH - Pihak keamanan Rusia menyatakan senjata nuklir akan digunakan jika keberadaannya terancam. Hal tersebut diungkapkan oleh juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, kepada CNN dalam sebuah wawancara pada Selasa lalu.

Hal tersebut disampaikan di tengah kekhawatiran pihak Barat terhadap konflik antara Rusia dan Ukraina yang bisa meningkat menjadi perang nuklir. Usai gagal merebut ibu kota Ukraina, Kyiv, dan kota besar lainnya dengan serangan cepat, Rusia menggencarkan penyerangan yang telah membuat beberapa daerah perkotaan menjadi puing-puing. 

Kemungkinan Penggunaan Senjata Nuklir 

Penjelasan Peskov disampaikan dalam sebuah wawancara berbahasa Inggris saat ditanya apakah dia yakin Presiden Rusia, Vladimir Putin, tidak akan menggunakan senjata nuklir.

"Kami memiliki konsep keamanan dalam negeri dan bersifat publik, Anda dapat membaca semua alasan penggunaan senjata nuklir. Jadi, jika itu adalah ancaman eksistensial bagi negara kami, maka itu (senjata nuklir) dapat digunakan sesuai dengan konsep kami," terang Pekov, dikutip VOI dari Reuters, 23 Maret.

"Tidak ada alasan lain yang disebutkan dalam teks itu," tegasnya.

Pada bulan lalu Presiden Vladimir Putin memerintahkan pasukan nuklir Rusia bersiaga tinggi. Sejalan dengan perintah itu, Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pada 28 Februari, pasukan rudal nuklir dan armada utara serta Pasifik telah ditempatkan pada tugas tempur yang ditingkatkan, Interfax melaporkan.

Sementara, pada 14 Maret Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, mengatakan bahwa saat ini ada kemungkinan terjadinya konflik Nuklir.

"Prospek konflik nuklir, yang dulu tidak terpikirkan, sekarang kembali ke ranah kemungkinan," terang Guterres.

Perang Rusia-Ukraina

Diketahui, invasi yang telah berlangsung selama 27 hari ini telah memaksa lebih dari 3,5 juta orang mengungsi, membawa isolasi ekonomi Rusia yang belum pernah terjadi sebelumnya, menimbulkan kekhawatiran akan konflik yang lebih luas di Barat yang tidak terpikirkan selama beberapa dekade.

Kantor hak asasi manusia (HAM) PBB di Jenewa mengatakan pada Selasa bahwa pihaknya telah mencatat 953 kematian warga sipil dan 1.557 terluka sejak invasi. Kremlin membantah menargetkan warga sipil.