ACEH - Beberapa waktu lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta Kementerian Perdagangan terbuka soal temuan mereka terkait data mafia minyak goreng. Data itu dinilai sebagai data yang penting untuk mendukung proses penegakan hukum di KPPU.
Sebagai informasi, Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, menyampaikan informasi terkait kecurigaan terhadap oknum yang memanfaatkan kelangkaan minyak goreng demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal tersebut disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI pada 17 Maret. Persoalan tersebut diduga terjadi di tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta.
BACA JUGA:
Data Kementerian Perdagangan Terkait Mafia Minyak Goreng
Menurut Ketua KPPU, Ukay Karyadi, data dan informasi yang dikantongi Kementerian Perdagangan itu penting untuk proses penegakan hukum, terutama jika data tersebut berhubungan dengan potensi pelanggaran persaingan usaha yang menjadi kewenangan KPPU sesuai UU Nomor 5 Tahun 1999.
"KPPU mengajak Kementerian Perdagangan RI untuk dapat berkoordinasi dan turut menyampaikan data dan informasi yang diperolehnya kepada KPPU terkait dugaan mafia minyak goreng, khususnya yang berhubungan dengan perilaku persaingan usaha tidak sehat antar pelaku minyak goreng, dalam mendukung proses penegakan hukum yang tengah berlangsung di KPPU," terang Ukay dalam keterangan resmi yang diterima VOI, Jumat, 18 Maret.
KPPU tengah melakukan penegakan hukum untuk menghadapi persoalan minyak goreng sejak 26 Januari 2022 dan telah melakukan pemanggilan terhadap berbagai produsen minyak goreng, distributor, asosiasi, dan pelaku ritel.
"Saat ini, KPPU tengah mengolah berbagai data dan keterangan yang diperoleh untuk menentukan kelayakan minimal satu alat bukti guna menentukan tindakan selanjutnya," ucapnya.
Mafia Minyak Goreng di Tiga Wilayah Indonesia
Muhammad Lutfi menjelaskan bahwa pasokan minyak goreng cukup bagi masyarakat di setiap provinsi. Namun, dia mencium adanya spekulan yang bermain dalam kelangkaan pasokan dan tingginya harga minyak goreng. Hal ini yang membuat harga minyak goreng di tingkat konsumen bergejolak.
Berdasarkan data BPS per Februari 2022, harga minyak kemasan dari yang semula Rp20.279 per liter menjadi Rp16.965 per liter atau turun 18,9 persen. Sementara itu, untuk minyak curah turun dari 17.726 per liter menjadi Rp15.583 per liter atau 10,1 persen. Namun, nyatanya harga tersebut tidak berlaku di pasaran.
Padahal, lanjut Lutfi, pemerintah telah mendistribusikan 551 juta liter dari 720 juta liter ke seluruh penjuru Indonesia. Menurut dia, seharusnya sudah mencukupi kebutuhan masyarakat di tiap provinsi.
"Yang terjadi adalah, spekulasi dari kami, ada orang-orang yang tidak sepatutnya menerima hasil dari minyak ini. Misalnya masuk ke tempat industri yang harusnya ke masyarakat 1,8 juta ton per bulan atau diselundupkan keluar negeri. Ini adalah mafia yang musti kita berantas bersama-sama," tuturnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Kamis, 17 Maret.
Lutfi mengungkapkan bahwa ada tiga daerah yang diduga menimbun minyak goreng, antara lain adalah Medan, Sumatera Utara (Sumut); Surabaya, Jawa Timur (Jatim); DKI Jakarta. Untuk Sumatera Utara sendiri per 14 Februari hingga 16 Maret mendapatkan pasokan minyak goreng sebesar 60.423.417 liter.
"Saya pergi tidak ada migor, ada 3 daerah yang mirip seperti ini, yaitu Surabaya, Jawa Timur yang distribusi 91 juta, Jakarta 85 juta dengan 11 juta rakyat dan Sumut," ucapnya.
"Rakyat Sumut menurut BPS 2021 jumlahnya 15,18 juta orang, kalau dibagi ini setara dengan 4 liter per orang dalam waktu satu bulan," sambungnya.
Lutfi mengatakan di Sumatera Utara tepatnya di Medan, minyak goreng yang tersalurkan sebesar 25 juta, padahal rakyatnya adalah 2,5 juta jiwa. Berdasarkan simulasi per 1 bulan itu, masing-masing warga itu mendapatkan 10 liter minyak goreng.
Lebih lanjut, Lutfi mengatakan hal yang sama dalam ketiga kota ini adalah adanya dominasi dari industri dan pelabuhan.
"Tiga kota ini didominasi industri, pelabuhan. Jadi kalau ini pelabuhan dari pelabuhan rakyat, satu tongkang bisa 1.000 ton atau 1 juta liter, dikali Rp7.000 atau Rp8.000 ini uagnya bisa sampai Rp8-9 miliar," ucapnya.
"Kemendag tidak bisa melawan penyimpangan tersebut. Jadi spekulasi kita ini ada orang-orang yang mendapat mengambil kesempatan dalam kesempitan," tuturnya.