ACEH - Napoleon Bonaparte kembali terjerat kasus hukum karena menjadi pelaku penganiayaan terhadap tersangka kasus dugaan UU ITE dan penodaan agama, Muhammad Kosman atau Muhammad Kece.
Tidak hanya memukul Kece, Napoleon juga turut melumurinya dengan kotoran manusia di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri. Kotoran tersebut dilumurkan Napoleon bersamaan pada saat memukul.
BACA JUGA:
"Sambil memukul, (Irjen Napoleon) juga melumuri kotoran manusia," kata Dirtipidum Bareskrim, Brigjen Andi Rian Djajadi, Senin, 20 September.
Berdasarkan pemeriksaan awal, diduga jenderal polisi terpidana kasus suap Djoko Tjandra itu sendiri yang menyiapkan kotoran manusia untuk menganiaya Muhammad Kece.
"Kotoran manusia disiapkan sendiri oleh NB," jelasnya.
Di sisi lain, Irjen Pol Napoleon Bonaparte melayangkan surat terbuka terkait alasan dirinya menganiaya tersangka penistaan agama Muhammad Kece.
Melalui Haposan Batubara selaku kuasa hukum, Napoleon Bonaparte menegaskan jika kliennya itu tak terima terhadap kelakukan Muhammad Kece yang seenak diri menghina agamanya.
"Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air sebenarnya saya ingin berbicara langsung dengan saudara-saudara semua, namun saat ini saya tidak dapat melakukannya," tulis Napoleon Bonaparte dalam surat terbukanya terkait penganiayaannya terhadap Muhammad Kece, Minggu 19 September.
Tak sampai di situ, Napoleon Bonaparte juga menyatakan dalam surat terbuka itu, bahwa dirinya lahir dan dibesarkan sebagai seorang muslim.
Lantas, lumrahkah alasan dan perlakuan Napoleon menganiaya M. Kece lantaran tak terima agamanya dihina dan dinodai?
Pro Kontra Kasus Napoleon dengan Alasan Agama
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, turut menyoroti kasus tersebut. Dia menilai, Napoleon pasti sudah tahu konsekuensi akibat perbuatannya.
"Kita tahu Napoleon Bonaparte itu bukan orang sembarangan dan bukan orang yang tidak mengerti hukum, tapi malah sangat-sangat mengerti bahkan beliau adalah salah seorang penegak hukum," ujar Anwar Abbas, Senin, 20 September.
Menurutnya, tindakan yang dilakukan Jenderal bintang dua itu lahir dari kegelisahan lantaran keimanannya telah dilecehkan.
"Tapi kalau agamanya dan keimanannya dihina, diremehkan dan direndahkan maka sebagai manusia biasa dan sebagai manusia yang beriman tentu batas kesabarannya juga ada," kata Anwar.
Anwar memaparkan, bahwa setinggi apa pun jabatan seseorang dan sehebat apa pun pengetahuan orang tentang hukum, apabila agama dan keyakinannya diganggu maka yang akan berbicara adalah keimanannya.
"Napoleon pun bertindak dengan menghajar yang bersangkutan. Dan karena dia sadar tindakannya itu menyalahi hum maka kudia pun mengatakan saya siap untuk menanggung risikonya kata beliau," paparnya.
Dari peristiwa tersebut, Anwar pun berpesan kepada masyarakat agar menyadari bahwa masalah agama adalah hal yang sangat sensitif.
Dia berharap, negara dan para penegak hukum hendaknya benar-benar cepat tanggap bila ada masalah yang menyangkut pelecehan terhadap masalah agama.
"Ini penting dilakukan dan untuk menjadi perhatian kita semua agar persatuan dan kesatuan kita sebagai warga bangsa tidak rusak dan dirusak oleh sikap dan perbuatan dari orang seorang atau segelintir orang," pungkas Anwar Abbas.
Sedangkan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily, dengan tegas tidak membenarkan sikap Napoleon Bonaparte yang menganiaya tersangka penistaan agama, Muhammad Kece di rutan Bareskrim.
Pimpinan komisi yang membidangi urusan agama itu menyarankan agar Napoleon tak gegabah melakukan penganiayaan meski tak terima agamanya dihina.
"Seharusnya tidak boleh siapa pun melakukan kekerasan atas nama penegak hukum, apalagi di luar kewenangan," ujar Ace, Senin, 20 September.
Politikus Golkar itu, menilai Napoleon harusnya menahan diri dan menyerahkan proses hukum M. Kece pada aparat berwenang. Terlebih, Napoleon juga merupakan tahanan.
"Lebih baik, serahkan saja kepada penegak hukum untuk mengambil langkah-langkah sesuai dengan kewenangannya," kata Ace.
Hukum Tak Membenarkan Tindakan Napoleon Bonaparte
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni, menyayangkan adanya tindak kekerasan terhadap Muhammad Kece oleh Irjen Napoleon Bonaparte. Terlebih, Napoleon memukuli dan melumuri M. Kece dengan kotoran.
Menurut politikus NasDem itu, apapun motif Irjen Napoleon Bonaparte menganiaya M Kece tidak dapat dibenarkan. Sebab, kata dia, semua orang memiliki hak mempercayai keyakinannya masing-masing.
"Semua orang punya hak masing-masing walaupun secara umum ajaran agama dalilnya adalah Al-Quran itu sudah menjabarkan semuanya," jelas Sahroni, Senin, 20 September.
Sahroni meminta aparat tidak pandang bulu untuk memproses kasus penganiayaan secara hukum. Mengingat keduanya memiliki kedudukan sama sebagai tahanan.
"Aparat harus tindak tegas siapapun pelaku kriminal," kata legislator DKI Jakarta itu.
Sementara, Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery, mengatakan sikap Irjen Napoleon Bonaparte yang diduga menganiaya Muhammad Kosman alias M. Kece di rumah tahanan Bareskrim adalah tindakan pidana. Sehingga ia menyerahkan sepenuhnya kepada Polri terkait proses hukum.
"Apa yang terjadi itu adalah tindak pidana tentunya, dan kami tidak ingin mengintervensi apa pun siapa pun dia," ujar Herman Hery di Gedung DPR, Senin, 20 September.
Politikus PDIP itu meyakini, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Bareskrim Polri bisa bersikap profesional dalam kasus penganiayaan tersebut.
"Kami hanya minta Bareskrim tangani secara profesional, pasti sudah ada mekanismenya. Saya percaya pada Kabareskrim dan Kapolri akan menangani secara profesional. Kami serahkan kepada Kapolri," kata Herman.
Artikel ini telah tayang dengan judul Perspektif Agama dan Hukum dalam Kasus Penganiayaan Napoleon Bonaparte kepada M. Kece. Selain kasus Napoleon Bonaparte, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!