Anggota DPR Usul Hukuman Mati bagi Koruptor di Atas Rp100 Miliar
Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman/FOTO: Nailin In Saroh-VOI

Bagikan:

ACEH - Beberapa waktu lalu anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra, Habiburokhman, menyampaikan dukungannya terhadap tuntutan jaksa dalam menangani narapidana kasus korupsi. Dia usul agar tuntutan hukuman mati atau hukuman seumur hidup diberikan kepada terdakwa korupsi dengan nilai korupsi di atas Rp100 miliar.

"Kami sangat mendukung tuntutan jaksa yang tinggi dalam kasus tipikor, yang nilainya besar. Mungkin nanti dikategorisasi saja, dibikin standar, di atas Rp100 M (miliar), tuntutannya hukuman mati atau seumur hidup," terang Habiburokhman dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) di gedung DPR pada Rabu, 23 Maret, dikutip VOI

Hukuman Mati Berikan Efek Jera

Menurutnya, hukuman mati atau hukuman seumur hidup bisa memberikan efek jera serta menyelamatkan keuangan negara dari tindak pidana korupsi. 

"Jadi efek penjeraannya dapat, pengembalian kerugian negaranya juga dapat," lanjutnya.

Dia menambahkan, strategi penyelamatan kerugian negara jangan hanya dilakukan pada kasus tipikor. Hal serupa juga perlu dilakukan terhadap tindak pidana di bidang ekonomi lain yang secara prinsip merugikan keuangan negara dan sistem ekonomi negara.

"Soal penyelamatan kerugian negara, tidak hanya tipikor, tapi tindak pidana di bidang ekonomi lain yang secara prinsip merugikan keuangan negara, merusak sistem ekonomi negara," jelasnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, menyampaikan bahwa Kejagung memiliki tiga strategi untuk mengoptimalkan penyelamatan keuangan negara melalui penanganan tindak pidana korupsi.

Strategi Kejagung Optimalkan Penyelamatan Keuangan Negara

Pertama, Kejagung tidak hanya memidana subjek hukum orang perseorangan untuk memunculkan efek jera. Namun, subjek hukum korporasi juga akan didenda untuk menghasilkan pendapatan negara.

"Pemidanaan tidak hanya diarahkan kepada subjek hukum orang perseorangan untuk efek jera, tetapi juga akan menghasilkan pendapatan negara karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda," ujar Febrie dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu, 23 Maret.

Kedua, penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Febrie menjelaskan, ini tidak hanya fokus pada pembuktian unsur merugikan keuangan negara, tetapi juga merugikan perekonomian negara.

Febrie mengatakan, sejauh ini aparat penegak hukum hanya fokus pada pemulihan keuangan negara. Sementara, kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi belum dijadikan standar penanganan.

"Ini menimbulkan tingkat pemulihan ekonomi negara seringkali tidak sebanding dengan opportunity cost dan multiplier economy effect yang timbul sebagai akibat terjadinya tindak pidana korupsi," terang Febrie.

Strategi ketiga, penerapan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada kasus-kasus korupsi.

"Penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang, selain untuk efek penjeraan, juga sebagai upaya untuk penyelamatan keuangan negara dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP," jelas Febrie.