ACEH - Beberapa waktu lalu Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa Indonesia butuh sembilan satelit pengindraan jauh untuk melalukan pemantauan terhadap kondisi bencana alam di Indonesia.
"Kita butuh sembilan satelit untuk melakukan orbitan tanpa jeda karena wilayah Indonesia yang sangat luas," terang Deputi Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa, dan Jaringan Komunikasi BMKG, Muhamad Sadly, dalam kuliah umum dalam rangka Hari Meteorologi Dunia ke-72 secara daring yang diikuti di Jakarta, Selasa, 22 Maret, dikutip VOI.
Indonesia Punya Ancaman Bencana Alam Sangat Kompleks
Sadly mengatakan, Indonesia punya ancaman bencana yang sangat kompleks dan tidak bisa ditangani secara normatif. Selain itu, kondisi cuaca saat ini semakin ekstrem sehingga dibutuhkan teknologi.
Menurutnya, jika hanya menggunakan satu satelit, terdapat jeda 100 menit saat mengorbit sehingga tidak bisa dilakukan pemantauan bencana alam.
Tanpa satelit, lanjut Sadly, pemantauan akan sulit dilakukan karena butuh waktu yang lama mengingat wilayah Indonesia luas.
BACA JUGA:
"Saat bencana terjadi baik gempa, tsunami atau bencana hidrometeorologi lainnya, sistem komunikasi akan kolaps. Kita tidak bisa gunakan komunikasi berbasis HP, apalagi terjadi gempa besar seperti di Palu pada 2018. Lalu bagaimana orang bisa menyelamatkan diri kalau tidak ada sistem komunikasi yang andal," tambah dia.
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ahli satelit gelombang mikro dari Universitas Chiba, Jepang, dalam kuliah umum itu mengatakan bahwa Indonesia harus memiliki sensor karena letak wilayah di ekuator dan pertumbuhan awan yang cepat berdampak bencana hidrometeorologi dapat terjadi secara tiba-tiba.
"Saya merekomendasikan full polarimetric spaceborne Syntethic Aperture Radar (SAR) agar lebih detil karena di Indonesia pertumbuhan awan cepat sekali," kata pria yang akrab disapa Prof Josh itu seraya menambahkan perlu resolusi waktu yang memungkinkan kurang dari 10 menit.
Full Polarimetric spaceborne merupakan metode analisis citra radar dengan mengeksploitasi polarisasi citra dengan radar apertur sintetis (SAR) untuk membuat gambar dua dimensi atau rekonstruksi objek tiga dimensi, seperti lanskap.
Dia juga menyarankan Indonesia untuk membuat satelit sendiri sesuai kebutuhan, bahkan jika perlu dengan teknologi yang melampaui negara lain. Dengan satelit, data yang didapat lebih akurat dan cepat sehingga bencana hidrometeorologi seperti hujan, angin kencang, longsor dan lainnya dapat diprediksi.
Bahkan menurut dia, anggaran yang diperlukan untuk membuat satelit tidak terlalu besar, sekitar Rp150 miliar untuk satu satelit yang pernah ia buat.
"Kita kombinasikan satelit meteorological geostasionary untuk meteorologi yang khas Indonesia, yaitu jumlah gelombang dan aplikasinya. Selain itu, pembangunan satelit meteorologi menggunakan SDM dan material dalam negeri Indonesia," kata Prof Josh.
Artikel ini telah tayang dengan judul BMKG Nilai Indonesia Butuh Sembilan Satelit untuk Cegah Bencana.
Selain cara mencegah bencana alam, ikuti berita Aceh terkini. Klik link tersebut untuk berita paling update wilayah Aceh.