ACEH - Belum lama ini Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid, memberikan komentar terkait perusakan sesajen di kawasan Gunung Semeru. Dia mengatakan, mengambil hak beragama orang lain dan memaksakan ajaran agamanya adalah hal yang tak boleh dilakukan. Sebab, lanjutnya, itu tidak sesuai ajaran agama dan bisa melukai rasa kebangsaan dan nilai-nilai toleransi.
"Jadi bukan soal sesajen itu haram atau tidak. Kita bisa berbeda pendapat soal itu (sesajen), tapi yang jelas tidak boleh mengambil hak orang lain. Dan ketika ada orang memaksakan ajarannya kepada orang lain di negara ini, nah itu merupakan pelanggaran," terang Alissa, dikutip VOI dari Antara, di Sleman dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa, 18 Januari.
BACA JUGA:
Penjelasan Alissa Wahid Soal Sesajen di Gunung Semeru dan Toleransi
Dia melihat beberapa hal menarik dalam insiden perusakan sesajen itu, yaitu banyaknya kelompok yang mendukung aksi tidak beradab, intoleransi, perdebatan di kalangan warganet.
"Kenapa banyak yang mendukung? Karena mereka menganggap sedang menjalankan perintah agama. Tapi dia juga lupa, bahwa menghormati hak orang lain itu termasuk perintah agama juga," ucapnya.
Demikian juga termasuk perintah untuk menaati peraturan, membangun kehidupan bersama yang baik, dan membangun kemaslahatan umat, menurutnya adalah semata-mata juga bagian dari ajaran agama. Karena tidak etis jika ujaran atau perilaku yang demikian, dianggap sebagai kebebasan berpendapat, berekspresi dan berpikir.
“Dalam Al-Qur'an tertuang, la iqro hafidzin, yaitu tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Itu panduan, jadi kebebasan berpendapat itu betul, tapi tidak sama dengan bertindak semau-maunya,” terangnya.
Putri sulung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu mengatakan, di dalam Al-Qur'an Surat Al Maidah ayat 8 dikatakan ‘Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa’.
"Seseorang yang berlaku intoleran, tidak memahami kaidah hidup beragama yang sudah digariskan di dalam Islam. Soal keadilan itu sudah jelas sekali tertuang di dalam Al-Qur'an," jelas Alissa
Ia kembali menegaskan, agar masyarakat tidak semata-mata mentafsirkan sesuatu secara tekstual atau mempedomani satu perintah saja untuk dipraktikan, namun tidak memahami makna dan nilai dibaliknya, sehingga tidak mendapatkan kaidah hidup beragama yang sudah diwariskan dalam ajaran Islam.
"Jadi tidak bisa kita hanya mempedomani satu perintah saja tentang memberantas kemusyrikan. Dan kebanyakan orang itu seringkali hanya berhenti di praktiknya tapi tidak paham nilainya," ujarnya.
Alissa juga mengingatkan, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan oleh kelompok moderat agar bersikap bijak saat menghadapi fenomena kasus intoleransi dan ujaran kebencian atas nama agama.
“Yang pertama, tokoh moderat serta pemuka agama perlu menyampaikan pendapatnya, karena kalau tidak berpendapat itu kemudian seakan-akan menjadi hal yang dianggap benar. Sehingga tokoh moderat dan pemuka agama perlu menasihati dan meluruskan pemahaman keagamaan yang dangkal seperti itu," tuturnya.
"Jadi itu penting kita bersuara dengan lantang bahwa kita tidak ingin tindakan seperti ini tumbuh subur di Indonesia. Saya berharap hal ini akan dapat menghimpun dan menimbulkan suara yang lantang menolak praktik intoleransi di bumi pertiwi," ucapnya.
Peran Aktif dari Pemerintah
Dia juga berharap ada peran aktif pemerintah dalam mendorong upaya melindungi bumi pertiwi dari praktik intoleransi dan ujaran kebencian dengan mengatasnamakan agama, suku, bahkan ras, guna menciptakan lingkungan yang baik bagi penerus bangsa.
"Dari sisi pemerintah juga perlu adanya penindakan tegas dan menjadikan kasus intoleransi tadi menjadi pelajaran, serta memperkuat barisan sebagaimana telah adanya RAN-PE (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme berbasis kekerasan) dan Peta Moderasi Beragama," ungkapnya.
Terakhir, dirinya berpesan kepada seluruh pihak untuk bekerja sama menyukseskan apa yang tertuang dalam dua perangkat besar tersebut. Ini demi memastikan masyarakat memiliki pandangan keagamaan yang berbasis keadilan, keseimbangan, menaati konstitusi dan melindungi martabat kemanusiaan dan kemaslahatan bersama.
"Kalau moderasi beragama itu menebar benihnya, maka panennya adalah praktik keagamaan yang moderat, sementara RAN-PE fokus pada ekstremisme dengan atau tanpa kekerasan, jadi di hulu dan hilirnya dapet," katanya mengakhiri.