ACEH - Pemerintah disarankan tidak memaksakan pengisian pejabat kepala daerah dengan perwira TNI/Polri aktif saat menyambut pilkada serentak 2024. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Aceh, Nasrul Zaman. Dia mengatakan, hal tersebut bisa mencederai demokrasi.
"Kita khawatir kepemimpinan TNI/Polri tersebut akan mencederai nilai-nilai demokrasi yang partisipatif dan inklusif," terang Nasruk Zaman di Banda Aceh, Jumat, 27 Mei, dikutip VOI dari Antara.
Pejabat Kepala Daerah dari TNI/Polri Mengingkari Ruh dan Semangat Reformasi
Dalam sudut pandang etika, jelas Nasrul, memaksakan TNI/Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah bisa mengingkari ruh dan semangat reformasi yang mendorong supremasi sipil dalam pengambilan keputusan dan kebijakan untuk rakyat.
Terlebih lagi, lanjut Nasrul, saat ini tidak ada satu pun daerah di Indonesia kecuali Papua yang berada dalam bahaya atau mendapat ancaman keamanan. Oleh sebab itu jabatan sipil tidak harus diberikan kepada militer atau polisi.
"Maka karena itu rasanya tidak pantas rasanya jabatan untuk sipil kembali diserahkan pada militer dan Polri seperti masa lalu orde baru," ujarnya.
BACA JUGA:
Metode Komando Tidak Nyaman bagi Pemerintahan Daerah
Nasrul menerangkan, sistem pengambilan keputusan di militer atau polisi menggunakan metode komando. Oleh sebab itu, metode tersebut sangat tidak nyaman digunakan pada pemerintahan daerah, di mana ada legislatif dan eksekutif sebagai pengambil kebijakan.
"Pada daerah yang tanpa ancaman konflik tidak ada keuntungannya dibanding dari sipil murni. Model kepemimpinan komando sering kali menafikan nilai demokrasi seperti inklusifitas dan partisipasi," demikian Nasrul Zaman.
Seperti diketahui, Indonesia bakal menggelar Pilkada Serentak pada 2024, dan hampir seluruh provinsi serta kabupaten/kota kekosongan kepala daerah, sehingga harus diisi oleh seorang pejabat yang ditetapkan pemerintah pusat.