Berita Hukum: Pakar Komentari Pasal Santet dalam RUU KUHP
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

ACEH - Pakar hukum Unissula Semarang, Jawade Hafidz, menganggap pasal santet dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) perlu dikaji ulang. Alasannya, pasal tersebut sangat subjektif, bahkan obscure (tidak jelas).

"Rumusan Pasal 252 RUU KUHP sangat subjektif, obscure​​​​​," ungkap dosen Fakultas Hukum Unissula, Jawade Hafidz, di Semarang, Rabu, 23 Juni, dilansir Antara.

Di dalam Pasal 252 Ayat (1) disebutkan setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).

Jika pihak yang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya bisa ditambah dengan 1/3 (vide Ayat 2).

Kemudian, dalam penjelasan Pasal 252 RUU KUHP disebutkan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat akibat praktik ilmu hitam (black magic) yang secara hukum sulit untuk dibuktikan.

Pembuktian Praktik Gaib Susah Dilakukan di Ranah Hukum

Dijelaskan juga bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah dan mengakhiri praktik main hakim sendiri oleh masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).

Jawade menegaskan, pasal tersebut subjektif dan obscure karena tafsirannya sangat bergantung pada cara pandang masing-masing.

Terkait pembuktian terhadap pelanggar pasal santet, ia mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada alat ukur untuk membuktikan praktik semacam itu.

Ia lantas menyebutkan ketentuan di dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang lima alat bukti yang menjadi dasar untuk membuktikan perbuatan seseorang melakukan tindak pidana masih sumir dan debatable (belum pasti).

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 184 Ayat (1) disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Artikel ini telah tayang di VOI.id dengan judul Soal Pasal Santet di RUU KUHP, Ini Kata Pakar Hukum. Waktunya Merevolusi Pemberitaan!