Penjelasan Gus Muwafiq Terkait Agama dan Budaya
KH Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq dalam program Inspirasi Ramadhan yang digelar Badan Kebudayaan Nasional PDIP (ANTARA/HO-PDI Perjuangan)

Bagikan:

ACEH - Konsep agama dan budaya merupakan hal yang saling mengisi. Hal tersebut disampaikan oleh ulama Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Ahmad Muwafiq atau akrab Gus Muwafiq. 

"Kedua konsep tersebut memang sudah ditakdirkan untuk bersatu padu dan mengisi satu sama lain. Jika puasa adalah salah satu perintah agama, maka manisnya kolak pisang saat berbuka adalah budayanya," terang Gus Muwafiq, dikutip VOI dari Antara, Jumat, 8 April.

Penjelasan Gus Muwafiq Islam dan Masyarakat Indonesia

Gus Muwafiq menjelaskan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam program Inspirasi Ramadan Edisi Buka Puasa di akun YouTube BKN (Badan Kebudayaan Nasional) PDI Perjuangan. Dia menjelaskan, transformasi Islam untuk memenuhi takdir sebagai agama yang membawa kesejukan bagi seluruh umat manusia butuh waktu yang tidak sebentar.

"Islam telah bergerak selama 800 tahun sebelum sampai di daratan Nusantara," terang Gus Muwafiq.

Oleh sebab itu, pertemuan antara konsep agama dan kebudayaan terjadi di mana pun, dengan karakter dan corak Islam di Indonesia sangat beragam, karena Indonesia dihuni oleh ratusan ribu budaya, suku, dan tradisi.

"Di Arab sana, haji adalah hal yang biasa. Di sini merupakan hal yang istimewa dan gelarnya melekat. Kalau di Jawa berubah menjadi Wak Kaji. Nabi Muhammad juga, sampai di Indonesia mendapat sapaan nama tambahan, Kanjeng Nabi. Salat sebutannya berubah menjadi sembahyang. Ini kan kebudayaan, tapi agamanya dan substansinya tetap," jelas Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.

Penjelasan Gus Muwafiq Soal Tahlilan dan Ziarah Kubur

Pembawa acara Sadarestuwati lantas menanyakan isu yang kerap menjadi perdebatan masyarakat, yaitu tahlilan dan ziarah kubur. Gus Muwafiq menanggapi dengan ringan yang diselingi candaan. Dia mengatakan, urusan tersebut hanya persoalan produk doa sehingga tidak semestinya dirisaukan.

"Kalau ada orang Islam meninggal, memang agama menyuruh kita untuk menguburkan, semua orang sepakat bahwa si mayit (mayat) itu harus didoakan. Nah, permasalahannya, cara berdoa setiap orang dan/atau daerah berbeda-beda. Sekarang ada yang mendoakan online, lalu berdoa mengheningkan cipta, dan ada juga yang tahlilan itu tadi," jelasnya.

Apabila persoalan itu ditelisik lebih jauh, lanjutnya, maka akan menjadi permasalahan bahasa, yaitu kalimat tahlil Laa ilahaillallah yang mendapat akhiran -an.

"Lha di Jawa, semua mendapat akhiran -an. Kerudung, jilbab yang sedang dipakai disebut kerudungan atau jilbaban. Begitu juga tahlil tadi. Saat dilaksanakan doa-doa, bersedekah, dan diucapkannya kalimat-kalimat thayyibah untuk si mayit, maka disebut tahlilan. Sudah begitu saja," terang pria yang pernah menjadi asisten pribadi Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) itu.

Sementara itu, terkait fenomena ziarah kubur, dia berpendapat bahwa ziarah ke makam-makam sanak saudara, para guru, para kyai, Wali Songo, habib, dan sayyid yang tersebar di seluruh pelosok negeri justru membawa kemaslahatan tersendiri.

"Kalau ziarah kubur, iya kalau ziarahnya satu, kalau guru-gurunya diziarahi semua kan akhirnya orang-orang Jakarta ziarah ke Jombang. Itu bus pariwisata laku, odong-odong laku, bakul nasi laku. Orang Jakarta cinta sama Jombang karena di situ gurunya bersemayam. Lalu ziarah ke Demak karena di sana ada makam Sunan Kalijaga, orang cinta sama Demak. Terhadap tanah-tanah di mana guru-gurunya bersemayam, akan terbangun rasa cinta terhadap tanah itu. Kalau itu menyeluruh, itulah bangunan cinta tanah air. Kalau disuruh ngebom ya nggak berani, wong ada makam gurunya," ujarnya.

Artikel ini telah tayang dengan judul Gus Muwafiq: Konsep Agama dan Budaya Tidak Terpisahkan.

Selain Gus Muwafiq, ikuti berita Aceh terkini. Klik link tersebut untuk berita paling update wilayah Aceh.