ACEH – Perjuangan “The Doctor”, panggilan Valentino Rossi, untuk menjadi pembalap kelas dunia bukanlah hal yang mudah. Di lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnya Rossi, balap sepda motor dianggap sebagai olahraga rendahan. Meski demikian, Rossi menerjangnya.
Dalam pikiran Rossi, tak ada hal yang lebih penting selain menjadi pembalap. Hasil tak mengkhianati usaha, ia berhasil menjadi juara di semua kelas motoGP. Capaian tersebut membuat warga kota kelahirannya, Tavullia, berterima kasih kepada Rossi.
BACA JUGA:
Dalam perjalanan untuk mencapai keberhasilan tersebut, sosok yang paling berpengaruh adalah ayahnya, Graziano Rossi. Sang ayah berandil besar dalam menanamkan kecintaan terhadap balap motor kepada Rossi kecil. Terlebih lagi, ayahnya dikenal sebagai pembalap motor yang andal.
Asal-usul Nama Valentino Rossi
Nama “Valentino” merupakan nama sahabat sang ayah yang telah meninggal dunia. Sahabatnya itu punya jasa besar. Ia telah membantu Graziano dalam menangi balap motor 250 cc Grand Prix. Tak heran, ketika istrinya melahirkan anak pada 16 Februari 1979 di Tavullia, Urbino, anak tersebut diberi nama Valentino Rossi.
Kecintaan Rossi kepada dunia balapan mulai tumbuh sejak Rossi masih kecil. Itu tak terlepas dari masa kecilnya yang menghabiskan waktu sehari-hari untuk bersama sang ayah. Secara tak langsung, sifat sang ayah menular kepada Rossi.
Rossi pun tumbuh sebagai pribadi yang berkharisma, suka tantangan, santai, dan nyentrik. Sang ayah pun meneruskan cita-citanya yang tak kesampaian kepada Rossi, yaitu menjadi juara dunia balap motor.
Namun, cita-cita itu dianggap berlebihan oleh ibu Rossi, Stefania. Ia lebih rasional. Stefania ingin Rossi tumbuh layaknya anak-anak lain yang bercita-cita umum, selain menjadi pembalap.
“Inilah karakter Graziano yang memandu Valentino Rossi muda melewati masa kecilnya. Dan, dengan melihat dari belakang, Rossi harus berurusan dengan dua pandangan orang tua yang berbeda. Meskipun Graziano adalah kaum hippie eksentrik, mimpi ibunya untuk membentuk Rossi jauh lebih rasional dan normal.
“Umumnya mimpi Stefania dianggap lebih terhormat dan masuk akal. Stefania yang berkerja sebagai surveyor untuk dewan perwakilan rakyat setempat berharap putranya akan tumbuh menjadi insinyur atau arsitek, keduanya profesi yang kala itu sangat dihormati di Italia, seperti di tempat-tempat lain,” ungkap Stuart Barker, dikutip VOI dari buku berjudul Valentino Rossi: The Definitive Biography (2020).
Perbedaan tersebut tidak membuat Rossi kecil bimbang. Pribadi Rossi yang suka tantangan membuatnya memilih jadi pembalap sebagai opsi yang paling masuk akal.
Ia pun bekerja keras untuk menjadi pembalap kelas dunia, sekalipun masih berada di bangku sekolahan. Saking cintanya dengan dunia balapan, Rossi tak penah menyukai aktivitas belajar di sekolah. Dalam pandangannya, pendidikan dan Rossi berjalan tak akan selaras.
Bolos sekolah lalu jadi ajian utama Rossi supaya dapat ikut kompetisi balap motor. Perilaku itu kemudian tak disukai oleh guru-guru di sekolah Rossi. Pandangan merendahkan profesi pembalap sering dilontarkan oleh guru-gurunya.
Salah satu guru itu adalah guru sejarah kesenian. Guru itu memberikan komentar yang melulu negatif tentang nasib seorang pembalap. Ia memberikan pertanyaan yang kurang menyenangkan kepada Rossi: kamu yakin kalau berkutat terus dengan motor konyol itu kelak kamu bisa cari makan?
Rossi membuktikan dengan setumpuk prestasi di dunia balap. Di usia remaja, Rossi bahkan sudah ikut balap motor di luar negeri. Dan dia menang. Sayang seribu sayang, gurunya tak menanggapi positif prestasi tersebut.
Gurunya justru cenderung menganggap aktivitas balap yang dilakoni Rossi tak ubahnya sebagai kegiatan minim manfaat. Sebab, akibat utama dari bolosnya Rossi mengikuti pelajaran sekolah adalah nilai-nilainya yang menurun tajam. Lantaran itu masa depan Rossi diramal tak cemerlang. Di tambah lagi Rossi putus sekolah saat SMA.
“Aku pikir komentar guruku menggambarkan sebagian kecil saja dari diriku. Pelajaran kesenian mungkin bidang yang kurang kusukai, sama seperti matematika. Bukan salah gurunya, namun aku memang tak tahan belajar sejarah kesenian.”
“Akibatnya, aku tak bisa menjadi murid terbaik dan aku memang bukan yang terbaik dalam hal memperhatikan pelajaran di kelas. Lalu guru sejarahku itu menjadi marah begitu ia tahu aku tak tertarik dengan pelajarannya. Karena begitu jengkelnya, ia lalu serta-merta menprediksikan hal yang tak akurat sama sekali,” ungkap Valentino Rossi dalam buku Valentino Rossi: Andai Aku tak Pernah Mencoba (2006).
Pembuktian Valentino Rossi
Keraguan terhadap masa depan Rossi juga terjadi di dunia balapan. Sepanjang karier balapan yang diikuti oleh Rossi, dirinya terkenal sebagai pembalap yang tak sabaran. Alhasil, beberapa debutnya di dunia balapan selalu diisi oleh cerita Rossi tersingkir dari trek. Buahnya seluruh anggota timnya mulai meragukan kemampuan dari Rossi–jika tak mau dikatakan Rossi adalah pembalap payah.
Meski demikian, tiap keraguan selalu dibalas dengan sederet prestasi oleh Rossi. Makin hari, prestasi Rossi semakin baik. Begitu pun pialanya. Mental juara itulah yang mengantarkan Rossi mencicipi seluruh kelas balap motor, yaitu dari kelas 125 cc, 250 cc, 500 cc, dan MotoGP.
Tak hanya itu, Rossi juga berhasil merebut semua gelar juara dunia yang ada di dunia balapan roda dua. Rossi kemudian mendapatkan ketenaran. Ia bahkan mendapatkan gelar doktor kehormatan dari salah satu kampus di kampung halamannya. Padahal, Rossi tak lulus SMA.
“Hebatnya, pencapaian remaja berumur 26 tahun yang tak lulus SMA tapi mendapat gelar doktor kehormatan dari Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Urbino, Italia ini ditempuh dengan cara yang terbilang mencengangkan. Apa itu? Dia berani menentang logika insan balap dengan memutuskan pindah dari tim Honda ke Yamaha,” cerita Angryanto Rachdyatmaka dalam buku It's Injury Time (2008).
Popularitas Rossi sebagai juara dunia juga mengantarkan kampung halamannya untuk dikenal dunia. Berkat Rossi, Tavullia laksana Mekkah-nya pecinta balap motor dunia.
Tak kurang dari 20 ribu wisatawan “berhaji” ke kota kelahiran The Doctor, baik muda maupun tua. Wisatawan itu berasal dari Eropa, Amerika Selatan, dan Asia. Karena sebab itu, Tavullia tak pernah sepi dari wisatawan tiap tahun.
Tak hanya Tavullia. Seisi Urbino juga turut bangga dengan prestasi Rossi. Profesi pembalap yang dulu dianggap rendah mulai hilang. Tavullia lalu memasuki era baru. Era di mana hampir tiap anak yang lahir menginginkan karier sebagai pembalap. Ingin seperti Rossi, katanya.
“Kota yang ideal (Urbino) itu adalah tempat kelahiran Raphael, Bramante, dan Barocci, dan di antara tokoh-tokoh terkenal yang tinggal di sana adalah Luca Pacioli, Leonardo da Vinci, dan Pietro Bembo. Baru-baru ini dikenal sebagai tempat kelahiran Valenino Rossi, juara dunia motoGP,” tutup Rajarshi Sahai dalam buku The Self and the City (2008).
Artikel ini telah tayang dengan judul Balap Motor adalah Olahraga Rendahan di Kampung Halaman Valentino Rossi.
Selain balap motor di kampung halaman Valentino Rossi, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI Aceh!