ACEH - Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan ibu kota Kota Mataram. Dalam wilayah provinsi NTB terdapat dua pulau, yaitu Lombok dan Sumbawa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tengggara Barat tahun 2020, total penduduk di provinsi ini adalah 5.320.092. Sementara, suku-suku di NTB ada yang suku asli ada pula yang dari luar.
Secara administratif, NTB terbagi menjadi 11 kabupaten, mayoritas penduduknya berasal dari tiga suku, yaitu Sasambo. Sasambo merupakan akronim dari suku asli di NTB, yaitu Sasak, Samawa, dan Mbojo. Selain tiga suku tersebut, ada suku yang lain, seperti Bali, Jawa, Bugis, Bajo, Banjar, dan Melayu.
BACA JUGA:
Tiga suku mayoritas punya bahasa sehari-hari yang berbeda. Masyarakat Sasak menggunakan bahasa Sasak, masyarakat Bima dan Dompu menggunakan bahasa Mbojo, dan masyarakat Sumbawa menggunakan bahasa Samawa.
Mengenal 3 Suku Asli NTB
Suku Sasak
Dikutip VOI dari buku Berkenalan dengan Sasambo karya Bunyamin, suku Sasak merupakan salah satu suku tertua di Indonesia. Nama sasak, menurut tradisi lisan suku ini, berasal dari kata sa’-saq artinya ‘yang satu’. Nama ini tak lepas dari Lombok yang berasal dari kata lomboq yang berarti ‘lurus’.
Masyarakat Sasak masih kental dengan kearifan lokalnya. Salah satu tradisi yang unik dari masyarakat suku Sasak adalah tradisi "kawin lari" atau dikenal dengan tradisi merarik. Tradisi ini dilakukan ketika ada pasangan yang akan menikah dan saling menyukai. Bersama kerabat, calon pengantin pria akan "menculik" calon pengantin perempuan dan menitipkannya pada keluarga sang pria.
Suku Samawa
Suku Samawa menggunakan bahasa daerah--bahasa Samawa--dalam kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa kata pada bahasa Samawa, merupakan serapan dari bahasa yang ada pada etnis Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, Cina, dan Arab. Pada masa penjajahan, bahasa ini juga menyerap kosakata asing yang berasal dari bahasa Portugis, Belanda, dan Jepang.
Dialek dalam bahasa ini juga terbagi menjadi beberapa macam, termasuk dialek Taliwang, Jereweh, dan Tongo. Suku ini menyebut dirinya sebagai Tau Samawa.
Suku Mbojo
Suku Mbojo, atau dikenal juga sebagai suku Bima, punya banyak persamaan dengan Makassar Kuno. Pasalnya, ditemukan persamaan aksara pada keduanya. Jika ditelisik akarnya, aksara Sanskerta bisa dipastikan sebagai asal-usulnya. Sejak abad ke-17, dalam catatan sejarah Kerajaan Bima Bo Sangaji Kai, aksara Mbajo banyak ditulis dengan bahasa Arab dan Melayu.
Berdasarkan bahasa dan ras, suku ini terbadi menjadi dua kelompok, yaitu Bima Lama (Mbojo ma Ntoi) dan Bima Baru (Mbojo ‘Bou). Bahasa Bima Lama, meliputi bahasa Donggo, termasuk Donggo Ipa, Donggo Ele, dan Donggo Kolo.
Donggo Ipa dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di pegunungan sebelah barat teluk Bima. Donggo Ele menuturkan bahasa Tarlawi dan dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di Pegunungan Wawo Tengah. Sedangkan Donggo Kolo, dituturkan oleh masyarakat yang bermukim di Desa Kolo, sebelah timur Kecamatan Asakota, Kota Bima saat ini.
Masyarakat Bima Baru, menuturkan bahasa Nggahi Mbojo, yang berdomisili di Kota Bima, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Bahasa ini berfungsi sebagai bahasa ibu.
Busana sehari-hari yang dikenakan perempuan suku Mbojo dan Dompu cukuplah unik. Mereka mengalungkan sarung sekaligus sebagai penutup kepala. Pakaian tradisi ini disebut dengan Rimpu.
Itulah ulasan singkat mengenai suku-suku di NTB dan fakta menarik tentang suku tersebut. Beragam bahasa serta penutur bahasa daerah tersebar di seluruh Indonesia, ini salah satu gambaran tentang kekayaan budaya Nusantara.