Mewaspadai Fenomena La Nina dan Dampaknya
Ilustrasi hujan karena la nina (unsplash)

Bagikan:

ACEH – Berdasarkan pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), telah terjadi pendinginan suhu muka air laut di Samudra Pasifik ekuator sejak 10 hari (dasarian) pertama Oktober 2021 mencapai minus 0,61.

Ini menjadi tanda terjadinya fenomena la nina sebab secara teori telah melewati ambang batas 0,5 sebagai syarat terjadinya la nina dengan intensitas lemah.

Saat ini, dasarian tiga Oktober, penurunan suhu muka laut Samudra Pasifik ekuator terus bertahan, bahkan terpantau mencapai minus 0,92. Jika nantinya mencapai 1, la nina sudah mencapai level moderat atau menengah.

La nina merupakan fenomena yang dikontrol oleh perbedaan suhu muka air laut antara Samudra Pasifik bagian tengah (ekuator) dengan wilayah perairan Indonesia, sehingga suhu muka laut di wilayah Indonesia menjadi lebih hangat.

Kondisi ini menyebabkan tekanan udara yang mendorong pembentukan awan dan berdampak terjadi peningkatan curah hujan. Seperti pengalaman la nina pada 2020, terjadi peningkatan curah hujan 20—70 persen lebih tinggi dari normalnya dalam sebulan. Kondisi tersebut tentu semakin mengkhawatirkan terlebih lagi Indonesia saat ini memasuki musim hujan.

Maka perlu diwaspadai potensi terjadinya peningkatan bencana hidrometeorologi. BMKG bersama badan meteorologi dunia lainnya yang turut memantau fenomena la nina memprediksikan la nina tahun ini akan berdampak, setidaknya sama dengan 2020 pada level lemah hingga moderat dan akan bertahan hingga Februari 2021.

La nina pada Tahun 2020

Berdasarkan pantauan BMKG, hingga pertengahan Oktober sebanyak 20 persen wilayah Zona Musim (ZOM) di Indonesia telah memasuki musim hujan, namun sebagian juga masuk pada September.

Pada kejadian la nina 2020, terjadi peningkatan curah hujan di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Kondisi tersebut, menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, diprediksi peningkatan curah hujan secara konsisten sejak November hingga Januari 2022.

Pada November, beberapa wilayah diprediksi akan meningkat curah hujan bulanan 70, bahkan dapat mencapai 100 persen. Sementara pada November 2021, diprediksi peningkatan curah hujan merata di Jawa, Bali, NTB dan cukup merata di NTT serta secara sporadis di Sumatera, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara.

Pada Desember 2021, diprediksi semakin meningkat di Jawa, Bali, NTB, NTT. Di Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, dan sporadis di Kalimantan Timur serta Sulawesi Selatan.

Meski sebagian daerah diprediksi mengalami dampak la nina, sehingga mengalami peningkatan curah hujan, ada beberapa daerah yang justru kekurangan air karena intensitas hujan menurun, seperti Sumatera yang curah hujan sporadis dan Kalimantan Barat.

Jadi dalam satu pulau ada yang mengalami penurunan curah hujan dan ada pula yang meningkat, kata Dwikorita, sehingga perlu diwaspadai terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pada Januari 2022 dampak la nina semakin meluas di Jawa, Bali, NTB, sebagian NTT, sporadis di Sumatera, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan sporadis di Kalimantan Timur serta hampir merata di Sulawesi.

Kemudian pada Februari 2022 diprediksi curah hujan meningkat di beberapa wilayah, masih merata dan meluas di Jawa, Bali, NTB dan NTT lebih tinggi. Selain dampak la nina, perlu diwaspadai badai tropis yang sering terjadi pada Januari-Februari yang muncul di wilayah NTT.

Selain kabar la nina, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!