MUI Kontroversial, Gus Dur Beberapa Kali Lontarkan Kritik
Gus Dur alias Abdurrahman Wahid (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

ACEH – Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak jarang memunculkan kontroversi. Pada masa Orde Baru (Orba), MUI kental dengan agenda politik. Setelah Soeharto lengser, MUI justru berubah menjadi semacam “polisi keagamaan”. Fatwa-fatwa intoleran kerap lahir dan disambut kecaman ulama, salah satunya dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Gus Dur menyebut MUI berpikiran sempit. Lembaga ini dinilai tidak mewakili kepentingan umat Islam. Islam adalah kekuatan besar dalam peta perpolitikan Tanah Air. Keunggulan dalam hal jumlah dan peran umat Islam bagi bangsa dan negara tak bisa ditampik.

Jika ada yang ingin melanggengkan kuasanya di Nusantara, ia harus menggalakkan politik merangkul umat Islam. Hal tersebut bisa dilakukan melalui organisasi atau partai Islam. Siasat tersebut dilakukan untuk mengontrol umat Islam.

Strategi itu dilakukan oleh penguasa Soeharto, sang penguasa Orba. Soeharto membentuk MUI pada 1975. Organisasi keagamaan ini dibentuk dengan kewenangan terbatas. Ketika didirikan, MUI tak memiliki kekuatan apa-apa.

Menilik Perjalanan MUI di Indonesia

MUI hanya menjadi semacam penyambung lidah pemerintah dan umat Islam. MUI sering dianggap sebagai “tukang stempel” keagamaan pemerintah belaka. Ketika pemerintah Orba meminta fatwa halal, MUI menyiapkannya untuk kemudian diumumkan kepada umat Islam di Indonesia.

“Orde Baru membentuk institusi-institusi lain pula untuk mengontrol serta mengarahkan Islam. Salah satunya yang paling penting adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang didirikan pada 1975. Pada waktu itu, lembaga ini dimaksudkan sebagai sebuah wahana bagi pemerintah untuk mengarahkan Islam dan, di beberapa kalangan Islam, ia distigmatisasi karena alasan ini.”

“Baru setelah kejatuhan Soeharto, MUI menjadi wadah yang memperjuangkan kepentingan Islam—terutama dari kelompok kelompok yang paling konservatif, Islamis dan Dakwahis—di hadapan pemerintah. Walaupun pada awalnya mengkritik gagasan untuk membentuk majelis seperti ini, Hamka menerima ketika diangkat menjadi ketuanya yang pertama, tetapi kemudian mengundurkan diri pada 1981 sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah,” M.C. Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa (2013).

MUI memulai cerita baru ketika rezim Orba runtuh. Pada era Reformasi, MUI seperti terlahir kembali. Urusan-urusan agama dan umat banyak diperjuangkan. MUI mulai mengubah peran dari khadim al-hukumah (pelayan pemerintah) menjadi khadim al-ummah (pelayan umat).

Perubahan tersebut dirasa selaras dengan konsep dasar reformasi yang memberdayakan rakyat. MUI juga diberi kewenangan untuk menentukan agendanya sendiri, sebanyak-sebanyaknya untuk kemaslahatan umat Islam.

Di atas kertas, MUI menjelma organisasi keagamaan besar yang bertaji. MUI lebih fleksibel pada modernitas, demokrasi, dan Pancasila. Narasi tersebut berlanjut, MUI mulai berdiri mengikuti selera zaman, bahkan dalam hal fatwa.

Fatwa yang dibuat MUI banyak diterima oleh muslim di Indonesia. Namun, tak sedikit pula yang mengecam fakwa MUI. Lagipula, MUI mengeluarkan fatwa kontra produktif terhadap toleransi antaragama. Terutama kepada aliran Islam yang dianggap sesat, pemikiran MUI sulit diterima.

“Dalam satu hal jelas, berbagai fatwa ‘penyesatan’ MUl itu menggambarkan betapa penataan kehidupan keberagamaan di Indonesia belum betul-betul on the right track. Betapa fatwa yang sejatinya hanyalah religious opinion itu ternyata bisa menjadi dalih untuk mengkriminalisasi seseorang atau kelompok lantaran keyakinan religiusnya.”

“Dengan bermodalkan fatwa itu pula sejumlah ormas Islam melangsungkan tindak-tindak kekerasan terhadap orang-orang atau kelompok-kelompok keyakinan ‘berbeda’ itu. Ironisnya, justru para korban yang kemudian ‘diamankan,’ dijadikan tersangka, lalu diadili oleh aparat penegak hukum berdasarkan fatwa-fatwa ‘penyesatan’ MUI itu,” tulis Fawaizul Umam dalam buku Kala Beragama Tak Lagi Merdeka: Majelis Ulama Indonesia Dalam Praksis Kebebasan Beragama (2015).

Gus Dur Lontarkan Kritik kepada MUI

Sebagian besar ulama mulai merasakan kecenderungan MUI sebagai “polisi agama” setelah Soeharto dijatuhkan. Salah satu yang paling keras mengkritik MUI adalah Gus Dur. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga Presiden RI ke-4 itu kerap mengecam fatwa MUI yang ia nilai sebagai hasil dari sempitnya pemikiran.

Kasus fatwa haram produk penyedab rasa Ajinomoto adalah salah satu contoh kasus. Gus Dur tak langsung mengamini fatwa MUI tersebut. Sebagai presiden, Gus Dur memilih jalan tengah. Ia memilih untuk menguji terlebih dahulu produk penyedap rasa itu.

Gus Dur segera memerintahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan pengujian terhadap produk penyedap rasa yang divonis haram oleh MUI. Hasilnya, kontaminasi lemak babi pada produk penyedap rasa tak ditemukan.

“Penelitian LIPI memberikan hasil negatif. Tidak ada lemak babi dalam proses dan produk Ajinomoto. Gus Dur mempercayai LIPI, tetapi demi menghindari keributan yang tidak perlu dan tidak diinginkan, ia membiarkan penyedap masakan itu ditarik. Ajinomoto baru boleh dijual lagi setelah MUI diyakinkan bahwa proses produksinya diubah, sehingga produk itu memperoleh sertifikat halal,” tandas L. Wilardjo dalam buku Damai Bersama Gus Dur (2010), dikutip VOI.

Dalam kasus lain, Gus Dur juga mengecam fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme agama pada 2007. Ia menilai, Indonesia bukan suatu negara yang didasari oleh satu agama. Selain itu, MUI bukanlah institusi yang berhak menentukan mana perihal yang benar atau salah.

Sekalipun sudah purna tugas dari kursi presiden, Gus Dur tetap berani mengecam MUI yang berpikiran sempit. Sebab, ia mengetahui kehidupan Indonesia yang majemuk adalah pengetahuan dasar bagi tiap rakyat di pelosok negeri. Oleh sebab itu, Gus Dur menyarankan MUI untuk menggunakan narasi Indonesia yang majemuk sebagai alat ukur.

“Menurutnya, pluralisme merupakan keharusan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Dengan fatwanya, MUI memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi, yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragama yang serba majemuk di Indonesia.”

“Ini berarti fatwa MUI membawa masalah baru dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia. Pandangan serba sempit yang dimiliki MUI telah menyadarkan kita agar tidak mudah tertipu terhadap sikap yang seolah-olah mewakili umat Islam itu,” ujar Budhy Munawar Rachman dalam buku Argumen Islam Untuk Pluralisme (2010).

Fatwa antipluralisme dari MUI memakan banyak korban. MUI banyak memvonis aliran dengan label sesat. Hal itu membangkitkan amarah kelompok intoleran.

Kritik Gus Dur jelas sebab tidak kasus penyesatan tanpa “restu” dari MUI. Gus Dur menyebut sikap MUI yang “salah baca” terkait Indonesia yang majemuk menyebabkan reaksi berlebihan dari kaum muslimin sendiri.

Akibat hal tersebut, amarah muslim Indonesia membara dan membuat mereka menyerang rumah-rumah ibadah suatu aliran yang dianggap sesat. Salah satu contoh dari kasus ini adalah fatwa sesat terhadap aliran Ahmadiyah. Fakta itu menegaskan bahwa MUI telah berjalan jauh dari rumusan ajaran Islam yang sebenarnya.

“Saking perhatiannya (kepada MUI) sampai-sampai sering menimbulkan kontroversi yang berani melawan arus, melalui pengalaman intelektual serta spiritualnya yang sulit dijangkau oleh orang awam. Tak tanggung-tanggung, peran, fungsi, posisi, hingga produk hukum yang difatwakan MUI beberapa kali menuai kritik dan evaluasi dari mendiang Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 itu, bahkan pada tahun 2007 Gus Dur diberitakan di beberapa media meminta MUl untuk dibubarkan,” tutup M. Zidni Nafi dalam buku Menjadi Islam, Menjadi Indonesia (2018).

Artikel ini telah tayang dengan judul Gus Dur Kritik Keras MUI.

Selain kritikan Gus Dur kepada MUI, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI Aceh!

Terkait