Twitter Sebut  Donald Trump Tak Mengerti Kebebasan Berbicara, Minta Hakim Federal Tutup Kasus
Twitter kini meminta hakim federal untuk membatalkan kasus itu. (foto: dok. unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump pada bulan Juli lalu mengajukan class action kepada perusahaan Big Tech, seperti Facebook, Google dan Twitter beserta CEO-nya.

Dalam gugatan itu, Trump menuduh perusahaan melanggar Amandemen Pertama negara tersebut ketika media sosial ini melarangnya dari platform setelah peristiwa di Gedung US Capitol pada 6 Januari lalu.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, Trump juga mengajukan gugatan lain terhadap Twitter, supaya mendapatkan kembali akun media sosialnya. Meski begitu, gugatan ini dianggap serius oleh perusahaan teknologi tersebut.

Menurut laporan Bloomberg yang dikutip dari Mashable, Senin, 13 Desember, Twitter kini meminta hakim federal untuk membatalkan kasus itu. Perusahaan media sosial mengatakan Trump tidak memahami Amandemen Pertama atau kebebasan berbicara, dan bahwa hak Twitter adalah apa yang sebenarnya terancam di sini.

Dalam pengajuan pengadilan federal, Twitter dan mantan CEO Jack Dorsey berpendapat bahwa Twitter adalah aktor swasta yang tidak dibatasi oleh konstitusi federal. Dengan demikian, Twitter dapat membuat keputusan tentang konten apa yang diizinkan untuk diposting di situsnya.

Faktanya menurut perusahaan yang lebih mengejutkan bahwa Trump telah menyatakan setuju untuk mematuhi aturan Twitter, namun terus berulang kali melanggar aturan itu.

Selain itu, pengajuan juga menjabarkan mengapa Twitter melarang Trump, yang mengungkapkan bagaimana mantan presiden itu berulang kali men-tweet informasi palsu tentang pemungutan suara 2020, dan tentu saja hal ini melanggar kebijakan perusahaan.

"Pemerintah tidak dapat memaksa operator swasta dari platform online, seperti Twitter, untuk menyebarkan pidato yang tidak disetujui oleh operator," bantah Twitter dalam pengajuannya.

Sudah lebih dari 11 bulan sejak pendukung mantan Presiden Donald Trump menyerbu gedung US Capitol dalam upaya untuk membatalkan hasil pemilihan Presiden 2020. Setelah acara tersebut, beberapa platform online juga turut menangguhkan atau langsung melarang Trump.

Sejak itu, Trump telah mencoba mengukir ruangnya sendiri secara online.  Trump memang sedang memerangi larangan atau penangguhan dari Twitter, Facebook Meta Platform Inc. dan Google Alphabet Inc yang menuduh raksasa teknologi itu mencoba membungkam pandangan konservatif dan melanggar hak kebebasan berbicaranya.

Karenanya, belum lama ini dia mengumumkan platform media sosial baru miliknya, TRUTH Social. Sementara TRUTH belum diluncurkan secara resmi, media sosial tersebut sudah memiliki masalah sendiri, seperti lisensi dan troll, merusak versi platform yang belum dirilis.