Kurasi Gelaran Musik Itu Bernama <i>YouTube-core</i>
Lokatara Fest 2019 (Instagram/@lokatarafest)

Bagikan:

Dalam artikel "Janji Manis di Tengah Kisruh Gelaran Musik", kita telah mendalami bagaimana kisruh gelaran musik berdampak pada para musisi. Kita juga melihat bagaimana cancel fee dapat jadi peluang untuk meminimalisir kerugian para musisi. Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Mengusik Gelaran Musik", lewat artikel ini, kita dalami YouTube-core yang konon jadi masalah dalam persaingan bisnis promotor kelas menengah.

Dari tahun ke tahun, perkembangan bisnis konser musik di Indonesia makin berkembang pesat. Pilihan untuk menikmati musik juga semakin banyak mediumnya. Kini, tidak cuma konser tunggal, festival pun semakin menjamur dengan kemeriahan perjodohan antara musik, makanan, dan konten.

Melihat adanya potensi bisnis, promotor baru bermunculan. Tidak perlu berlatar belakang pebisnis. Asal punya uang, artis bisa didatangkan. Setidaknya itu yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan. Membuat sebuah gelaran musik bisa dilakukan siapa saja yang ingin menghadirkan musisi-musisi luar negeri di Indonesia.

Sebuah istilah --jika tak ingin disebut sub-genre baru-- yang disebut YouTube-core pun berkembang sebagai konsep kurasi dalam bisnis konser musik. Istilah itu ditujukan untuk musisi yang ditemukan lewat YouTube. Jumlah tayang video musik mereka tidak sebanyak musisi besar semacam Maroon 5 atau Dua Lipa. Tetapi, musisi YouTube-core ini memiliki daya pikat sendiri untuk sebagian orang.

Beberapa waktu lalu, kami berbincang dengan Argia, orang di balik berdirinya Noisewhore. Kolektif musik asal Jakarta itu bisa dibilang yang paling bertanggung jawab memicu pertumbuhan jumlah konser dan festival yang kini banyak mendatangkan musisi-musisi YouTube-core sebagai penampil. Argia mengklaim gelaran konser Fazerdaze pada 2017 jadi pemicu besar munculnya tren ini.

Konser Fazerdaze Argia sebut sebagai awal mula bagaimana konser independen diselenggarakan tanpa mengandalkan sponsor. Dengan modal awal uang hasil patungan, Argia mengklaim, sumber pemasukan konser Fazerdaze murni dari penjualan tiket yang kala itu terjual habis dalam empat hari. Setelah Fazerdaze, gelaran lain Noisewhore kala mendatangkan Peach Pit dan Sunset Rollercoaster memperkuat aroma uang dalam konser musik kelas menengah.

Algoritma YouTube, Spotify, serta berbagai platform streaming musik lain jadi cara baru para penyelenggara musik melakukan kurasi. Caranya cukup mudah. Tinggal melakukan proses data tools untuk melihat musisi kelas menengah mana yang paling banyak didengar oleh pasar Indonesia. Jumlah putar streaming digital, radio, hingga YouTube jadi pertimbangan utama dalam kurasi.

Tak sepenuhnya salah. YouTube-core sejatinya hanya cara promotor musik menentukan musisi mana yang akan dijual di atas panggung. Namun, persoalannya ada pada cara main para promotor-promotor kelas menengah yang teramat oportunis. Argia mengkritisi bagaimana perkembangan industri ini tak dibarengi dengan edukasi yang tepat. Selain itu, praktik bisnis oportunis itu berdampak pada menanjaknya harga artis-artis menengah YouTube-core itu.

Meski tak menyebut angka, Argia mengatakan bahwa dahulu Noisewhore bisa mendatangkan berbagai musisi menengah YouTube-core dengan harga miring. Menurut Argia, bukan soal persaingan harganya saja. Namun, lonjakan harga akan mendorong penyelenggara musik pada ketergantungan terhadap sponsor. Bagi Noisewhore yang sejak awal bermain mandiri, lonjakan harga artis-artis menengah YouTube-core itu tentu mengganggu.

"(Mendatangkan) Xingfoo&Roy, Calvacades, sama Hime Hime. Dan sampai sekarang gue masih ngelakuin itu, sih (patungan). Terakhir, band Hawaii gue datengin," kata Argia kepada VOI, Rabu, 27 November.

“Sampai sekarang, patungan. Konsep gue bukan bakar duit. Risiko usaha. Karena dari sekian puluh juta yang gue rugiin, itu akumulasinya tiga tahun dan gue tidak pakai duit orang. Itu duit kami semua. Itu risiko usaha karena tidak pakai sponsor," tambah Argia.

Kurasi personal

Argia tertawa kecil ketika kami menyebut langkah yang ia lakukan bersama Noisewhore berbahaya. Bagaimana tidak, saat kolektif atau promotor lain memonitor habis-habisan potensi pasar lewat riset, data, atau survei, Argia malah memilih mendatangkan para musisi yang memang ia sukai secara personal.

Argia tahu betul risiko yang ia hadapi. Namun, bagaimana pula ia mengingkari kepuasaan menjalani bisnis dengan kepuasan personalnya. Lagipula, Argia percaya, pengumpulan data atau survei bukan segalanya. Lokatara Fest 2019, contohnya.

Menurut Argia, Lokatara Fest 2019 adalah contoh bagaimana praktik kurasi YouTube-core tak menjamin sebuah acara berbuah sukses. Kunci dari segalanya, menurut Argia tetap pengalaman, strategi, dan komunikasi.

"Sebenarnya data sudah bukan puncaknya lagi. Lo bisa datengin artis dengan berjuta-juta views. Lo datengin ke sini, lo belum tentu laku kalau lo approach-nya salah. Ya, artis Lokatara tuh YouTube semua kan tuh. Ramai kan pindah venue. Tapi, gue juga enggak membenarkan praktik gue yang asal feeling, ya," kata Argia.

Kolektif dulu dan kini

Webzine adalah konsep awal Noisewhore yang dimulai pada tahun 2014. Sempat vakum pada 2015, setahun kemudian Argia dan rekannya, Kareem menggelar acara lokal. Namun kesibukan Kareem dengan dunia rap-nya membuat Argia dibantu oleh teman-teman SMA-nya yang lain. 

“Tidak pernah ada yang keluar sih. Orang-orangnya yang ganti-ganti terus,” ungkap Argia.

Event Noisewhore pertama bertajuk Noise Whore Live yang sukses membawa musisi-musisi skena indie lokal membangkitkan semangat mereka untuk membuat seri keduanya. Bermodalkan koneksi pertemanan, Argia berhasil membawa Hime Hime, produser asal Seattle, Xingfoo&Roy, dan Calvacades.

“Saling bantu saja, sih. Karena, at some point bakal ada kayak gitu juga. Karena gue sering bikin acara lokal, gue kenalan sama mereka terus diajakin, ‘Eh, ada band ini mau enggak lo?’ Gue suka band-nya. Ya sudah tiga kali kayak gitu,” tutur Argia berkisah.

Sejak berdiri, Noisewhore melangkah perlahan tahap demi tahap. Dimulai dari membuat acara berskala kecil, menggelar skala menengah, mendatangkan artis luar negeri, hingga akhirnya benar-benar membuat sebuah gelaran musik yang makin mantap. Langkah-langkah itu jadi semangat Noisewhore sejak awal didirikan.

Argia percaya, proses akan menjaga kualitas penyelenggaraan musik Noisewhore. Dan yang terpenting, proses akan mematangkan jati diri Noisewhore sebagai penyelenggara gelaran musik yang anti-ketergantungan pada sponsor.

 “Orientasi kolektif tuh sekarang transaksional banget. Kita nyari booking fee-nya sekian nih, terus artis mana yang bisa. Oh si dia nih. Gue yakin itu efektif, tapi in the long run lo enggak bisa bergantung sama orang ini terus,” kata Argia.

Kembali pada Lokatara Fest 2019. Argia mengkritisi habis. Ia bercerita tentang bagaimana kegagalan Lokatara Fest 2019 berdampak pada industri konser musik kelas menengah. Menurutnya, beberapa agen musisi luar negeri --khususnya kelas menengah-- kini diliputi kekhawatiran untuk mentas di Indonesia pasca-Lokatara Fest 2019.

"Bakal lebih ribet bawain artis (dampak). Gue bisa bilang, di hari-h Lokatara, gue email-email-an sama salah satu agen. Agensi yang artisnya ada di Lokatara. Note, gue sudah pernah kerja sama mereka. Mereka nanya 'Lo punya bukti apa, lo enggak bakal fucked up kayak lokatara juga,'" tutur Argia menirukan percakapannya.

Sejatinya, bisnis konser musik --terutama kelas menengah-- memang sedang berkembang pesat di Indonesia. Jakarta, khususnya. Perkembangan ini memicu banyaknya pergerakan senada di antara kolektif dan promotor-promotor musik. Sayang, perkembangan ini tak diikuti dengan kesiapan para pelaku bisnis.

Artikel Selanjutnya: Beda Nasib Musisi Lokal dan Musikus Dunia Tegakkan Idealisme