Polemik Ibu Kota Negara Baru: Junta Militer Myanmar Paksa ASN Pindah dari Yangoon ke Naypyidaw
Gedung pusat parlemen Myanmar di Kota Naypyidaw. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Keputusan pemerintah Myanmar memindahkan Ibu Kota Negara dari Yangoon ke Naypyidaw tak berjalan mulus. Seisi Myanmar menilai pemindahan pusat kekuasaan terburu-buru dan tak memiliki urgensi penting. Apalagi, bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Mereka menganggap Naypyidaw belum layak jadi pusat kuasa. Narasi itu karena fasilitas penunjang hajat hidup belum memadai. Namun, Junta Militer tak peduli. Barang siapa yang menjabat sebagai ASN dipaksa telan pil pahit pindah ke Naypyidaw yang sunyi.

Eksistensi Yangoon sebagai Ibu Kota Negara Myanmar tiada dua. Seisi Myanmar pun merasa Yangoon adalah kota yang tepat. Rakyat Myanmar banyak menikmati kesejahteraan hidup di Yangoon. Dari urusan pendidikan hingga pekerjaan.

Malang tak dapat ditolak. Pandangan umum terkait eksistensi Yangoon berbeda dengan yang diamini oleh Jenderal Than Shwe. Pemimpin Junta Militer itu menganggap Yangoon tak layak lagi ditempati sebagai pusat pemerintahan.

Geliat pembangunan yang bergerak cepat dianggap Junta Militer bak gangguan. Usia kekuasaan Junta Militer dikhawatirkan tak berumur panjang. Myanmar boleh jadi dapat cepat runtuh kala terjadi perang. Pun kekuasaan Junta Militer dapat saja hancur karena aksi massa.

Foto paling ikonik yang menggambarkan kondisi Naypyidaw, yaitu jalan raya dengan puluhan lajur yang tidak dilintasi sebuah kendaraan pun. (Jeroen de Bakker Photography/go-myanmar.com)

Jenderal Than Shwe melihat kuasanya bisa saja lengser kapan saja. Konon, narasi itu hadir pula lewat berbagai ramalan yang membuat Junta Militer semakin paranoid.

Empunya kuasa pun mulai merencanakan perpindahan Ibu Kota Negara. Menteri Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi, U Soe Tha. Pembangunan pun mulai dilakukan secara diam-diam pada era 2000-an.

Hasilnya mengejutkan pemerintah Myanmar pun resmi memindahkan pusat pemerintahan dari Yangoon ke Ibu Kota Negara baru pada 2005. Naypyidaw (Kota Para Raja), namanya. Ibu Kota Negara baru itu berjarak cukup jauh dari Yangoon, atau 400 kilometer. Pun pemerintah Junta Militer jadi memiliki banyak lahan untuk membangun pusat pertahanan dan fasilitas lainnya.

“Simpang-siur alasan pemindahan itu segera diluruskan pemerintah. Menteri Penerangan Kyaw Hsan mengatakan, Ibu kota baru lebih strategis untuk pemerintah. Yangoon dianggap sumpek, hanya tersisa sedikit lahan untuk membangun gedung pemerintah. Pembangunan ibu kota baru itu dipimpin U Soe Tha, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi.”

“Pemerintah membangun lima bagian kota baru, yakni Oathara Thiri, Dekkina Thiri, Poppha Thiri, Zapu Thiri, dan Zeyar Thiri. Wilayah ini dibagi berdasarkan zona, seperti pemerintahan, permukiman, area bisnis, militer, hotel, rekreasi, pagoda, dan zona internasional. Pemerintah juga menyediakan sekitar dua hektare tanah untuk gedung kedutaan dan organisasi internasional,” terang Yandi M.R. dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Mistik Kota Para Raja (2010).

ASN Merana

Kepindahan Ibu Kota Negara dari Yangoon ke Naypyidaw membuat ratusan ASN yang tergolong gelombang pertama merana. Mereka jadi warga Myanmar pertama yang harus mengisi Ibu Kota Negara baru. Kepindahan itu bahkan cenderung dipaksakan oleh Junta Militer.

Barang siapa yang merasa dirinya mengabdi kepada negara, maka diminta mempersiapkan diri menuju Naypyidaw. Bahkan, kepindahan itu diminta dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sekalipun, pemerintah Myanmar mempersiapkan segala macam insentif dan fasilitas penunjang lainnya.

Banyak ASN yang menyatakan tak senang dengan rencana pemerintah. Namun, apa boleh buat, mereka hidup di tengah pemerintah militer yang represif. ASN pun harus menjalani hidup bak terisolasi dari dunia luar.

Kompleks parlemen di Naypyidaw pada saat dibangun sebelum resmi digunakan pada 2008. (Wikimedia Commons)

Narasi hidup di Naypyidaw serba terbatas jadi mengemuka. Sebab, pembangunan masih belum rangkum. ASN Myanmar pun bersiasat. Sebagian besar keluarganya sengaja tetap tinggal di Yangoon. Semuanya supaya anak dan istri mereka tetap dapat menikmati kenyamanan hidup, seperti sekolah dan berkerja, dibanding harus hidup di Naypyidaw.

“Banyak berita menyebar tentang ASN dan keluarga mereka yang tidak puas dengan dipaksa meninggalkan Yangoon dan tinggal di Naypyidaw. Mereka menuduh junta mengabaikan seluruh negeri dengan memindahkan ibukota secara kasar. Pemindahan itu dianggap hanya membuat situasi ekonomi yang sudah buruk menjadi lebih buruk.”

“Biaya besar digelontorkan untuk konstruksi Naypyidaw yang diharapkan dapat menampung satu juta orang. Biayanya diperkirakan akan menghabiskan dana sebanyak 4-5 miliar dolar AS. Suatu jumlah yang cukup besar di tengah pendapatan tahunan rakyatnya rata-rata hanya 280 dolar AS per orang,” ungkap Daniel Goma dalam buku Burma Or Myanmar? The Struggle for National Identity (2010).