Memori Ramadan: Buka Puasa Bersama Gus Dur di Istana Kepresidenan
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjelang turun dari tampuk kekuasaan pada 23 Juli 2001. (Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Abdurrahman Wahid  (Gus Dur) adalah pecinta diskusi sejati. Tiap ada diskusi terkait keagamaan, politik, dan pluralisme, Gus Dur acap kali hadir. Pun ia dikenal aktif mengikuti ragam pengajian. Majelis Reboan, salah satunya. Keaktifannya terus langgeng hingga Gus Dur menjadi orang nomor satu Indonesia. Ia sering menggelar diskusi di Istana Kepresidenan: Istana Merdeka dan Istana Negara. Apalagi saat memasuki bulan Ramadan. Kala itu, Istana aktif menggelar hajatan buka puasa bersama Majelis Reboan.

Tiada yang meragukan intelektualisme Gus Dur. Ia pernah menimba ilmu di Timur Tengah. Dari Universitas Al-Azhar (Mesir) hingga Universtas Baghdad (Irak). Pendidikan itu membuatnya kenyang akan literatur Islam dan barat. Namun, ilmu yang bejibun itu tak lantas menjadikan Gus Dur lupa diri.

Ia tetap merendah dalam kesehariannya. Bahkan, ia selalu haus dengan ilmu baru. Terutama saat dirinya pulang kampung ke Indonesia pada 1971. Gus Dur aktif mengikuti forum diskusi dengan ragam tema. Pembaruan Islam jadi topik favoritnya. Lagi pula, dari dulu Gus Dur telah tertantang untuk mengembangkan pemahaman Islam yang mampu menghargai tradisi lokal.

Gus Dur dalam sebuah acara Majelis Reboan. (Wikimedia Commons)

Gus Dur pun mendapatkan wadah yang tepat. Majelis Reboan, namanya. Forum diskusi itu sesuai dengan minatnya. Sebab, Majelis Reboan mampu mengembangkan sebuah diskusi terbuka sekaligus plural. Saban hari Rabu malam, Gus Dur kerap hadir. Ia sendiri banyak terinspirasi dari pemikiran-pemikiran cendikiawan muslim yang ikut dalam diskusi. Begitu pula sebaliknya. Gus Dur selalu dipercaya menjadi narasumber utama dari diskusi.

Peserta yang ikut dalam diskusi juga tak kalah  jempolan. Kebanyakkan berlatar belakang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Yang paling menarik, para intelektual non-muslim juga ikut hadir di dalam Majelis Reboan. Antara lain Franz Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, dan Victor Tania.

“Gus Dur juga diundang untuk bergabung dengan lingkaran intelektual pembaruan neo-modernisme yang terlibat bergerak di jalur LSM, yaitu Yayasan LKIS, dan yang terlibat dalam forum diskusi plural yang dikenal sebagai Majelis Reboan (berdiri 1984). Kedua institusi tersebut ikut memperkuat ide-ide Gus Dur seputar sekularisasi, pluralisme, non-sektarianisme, inklusivisme, dan kontekstualisasi Islam. Hal ini mengarah pada perumusan paradigma Islamnya: pribumisasi Islam.”

“Melalui paradigma ini, kaum tradisionalis bukan hanya memiliki senjata intelektual yang baru untuk membela praktik historis keagamaannya dari kritik kaum pembaru-modernis, tetapi juga alasan baru bagi peletakan kepentingan Islam di bawah kepentingan nasional. Ide-ide intelektual individu Wahid sebagian mencerminkan komitmennya yang sungguh-sungguh terhadap pluralisme, kepentingan nasional, dan demokrasi,” ungkap Yudi Latif dalam buku Genealogi inteligensia (2013).

Buka Puasa di Istana

Budaya diskusi terus menemani Gus Dur tumbuh menjadi salah satu cendikiawan muslim Indonesia. Ia terus mengkuti Majelis Reboan, sekalipun dirinya telah menjadi presiden Republik Indonesia 1999-2001. Gus Dur kala itu mampu mendobrak segalanya. Tata cara protokoler kepresidenan sering dilanggarnya. Ia tak ingin memberi jeda antara dirinya dengan masyarakat dalam diskusi.

Gus Dur pun mulai melakukan gebrakannya yang lain. Ia menjadikan Istana Negara sebagai ruang diskusi terbuka. Apalagi saat bulan Ramadan. Gus Dur menjadikan Istana negara sebagai tempat diskusi yang dikemas dengan acara buka puasa dan tawarih bersama Majelis Reboan pada 2000.

Tindakan Gus Dur cenderung revolusioner. Istana negara yang dulunya dikenal sebagai tempat menjamu tamu kenegaraan, berubah jadi tempat yang dapat diakses semua kalangan. Terutama kaum cendikiawan muslim. Agenda buka puasa yang berbalut diskusi itu sukses besar dan paling membekas.

Salah satu pendiri Surat Kabar Kompas, Jacob Oetama pernah merasakannya. Menurutnya, tiap orang yang pernah ikut buka puasa bersama Gus Dur seakaan-akan memiliki kedekatan emosional. Mereka dapat dengan bebas mengekspresikan pandangan hingga mencocok-cocokan persepsi.

Gur Dur bertemu mantan Presiden Soeharto di Jl. Cendana, Jakarta Pusat pada 8 Maret 2000. (nu.or.id/Istimewa)

“Tata cara protokoler kepresidenan sering dilanggarnya, didorong oleh inklinasi menyatu dengan rakyat. Sampai-sampai Istana Presiden yang semula terasing dari sentuhan rakyat banyak dia jadikan tempat buka puasa dan tarawih bulan Puasa Majelis Reboan di tahun 2000.”

“Tentu penampilan sederhana merakyat sewaktu menjadi Presiden tidak hanya terjadi pada buka puasa Majelis Reboan saat itu. Foto yang memperlihatkan Gus Dur dengan celana pendek dan baju lengan pendek di tengah pengawal yang berseragam, sekadar contoh lain. Contoh-contoh itu sekadar menegaskan, Gus Dur Presiden yang merakyat,” kenang Jacob Oetama dalam kata sambutan buku Damai bersama Gus Dur (2010).

Momentum buka puasa bersama di Istana jadi momentum yang paling ditunggu-tunggu oleh kaum intelektual dan cendikiawan muslim. Mereka lalu saling menanti giliran untuk hadir di istana. Banyak pula yang berebutan karena kesempatan itu tidak datang dua kali.

Orang-orang menyebut momentum berjumpa Gus Dur di Istana dikenal dengan istilah ngaji di istana. Format “ngajinya” tak jauh berbeda dengan acara Majelis Reboan umumnya. Yang mana, seluruh peserta diskusi ikut buka puasa, sholat tarawih, dan diskusi. Antara pembicara dan peserta tiada bedanya. Sama-sama dibalut kesederhanaan.

Gus Dur bersama mantan Presiden Soeharto dalam sebuah acara. (nu.or.id/istimewa)

“Suasana sore itu encer sekali, seperti suasana yang biasa pada pengajian Majelis Reboan. Duduk di lantai beralaskan karpet, Gus Dur dikelilingi semua sahabat lamanya di majelis. Duduk di sebelah kanannya Drs. Amidan (ketua MUI), lalu Bang Imaduddin Abdurrachim, Eki Syahruddin, dan Mas Giat (Dr Sugiat) imam besar majelis yang dikagumi jami'iyah sebab pilihan surat yang dibaca saat shalat tarawih selalu merdu, amat enak didengar karena tajwidnya standar di pesantren shalaf.”

“Di sebelah kiri Gus Dur ada Utomo Dananjaya dan A.M. Fatwa serta Dr Bactiar Mu'in, dosen ITB pengagum Gus Dur sejak ybs masih belajar di Universitas Wisconsin AS, kini ia menjadikan diri sendiri sebagai seorang networker politik antar umat yang teramat rajin. Di belakang Presiden duduk pendeta Jesuit Romo Muji Sutrisno yang mendapat mandat dari teman-temannya untuk mewakili hadir pada pengajian Majelis Reboan bersama mentornya,” tutup Soetjipto Wirosardjono dalam buku Mikul Duwur Mendem Jero (2007).

Terkait