Bagikan:

JAKARTA - Masalah kesehatan gigi dan mulut masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Berdasarkan berbagai survei nasional, lebih dari separuh penduduk mengalami gangguan gigi, mulai dari gigi berlubang hingga infeksi gusi.

Sayangnya, akses terhadap layanan kesehatan gigi masih belum merata, terutama di wilayah terpencil. Kondisi ini menunjukkan perlunya langkah konkret untuk meningkatkan layanan dan pemerataan tenaga medis di bidang kesehatan gigi.

Menanggapi situasi tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui program Strengthening of Primary Healthcare in Indonesia (SOPHI), menargetkan pemenuhan kebutuhan dental unit di 865 puskesmas pada tahun 2025. Dari jumlah tersebut, sekitar 189 puskesmas berada di wilayah terpencil dan sangat terpencil.

Dalam pernyataan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, menjelaskan bahwa berdasarkan data dari sistem informasi ASPAK (ketersediaan alat kesehatan) per Agustus 2024, sebanyak 6.507 puskesmas telah memiliki dental unit. Dari total tersebut, sekitar 17 persen berada di daerah yang dikategorikan terpencil dan sangat terpencil.

"Melalui proyek SOPHI, kami akan melengkapi 865 puskesmas dengan dental unit baru. Sekitar 22 persen dari puskesmas tersebut berada di daerah terpencil dan sangat terpencil, sesuai dengan usulan dari Dinas Kesehatan dan data ASPAK," ujarnya, seperti dikutip ANTARA.

Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tingginya angka kasus sakit gigi di masyarakat. Berdasarkan data dari program Cek Kesehatan Gratis (CKG), lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia mengalami masalah pada gigi dan mulut.

Aji juga mengungkapkan sejumlah hambatan dalam peningkatan layanan kesehatan gigi, seperti kurangnya tenaga medis dan minimnya fasilitas yang memadai di sejumlah daerah. Hal ini membuat pelayanan gigi dan mulut belum berjalan optimal.

Ia menambahkan bahwa terdapat kekurangan sekitar 10.309 dokter gigi dibandingkan kebutuhan nasional. Saat ini, jumlah lulusan dokter gigi per tahun hanya sekitar 2.650 orang, jauh dari cukup untuk menutupi kekurangan tersebut.

Data per April 2025 mencatat bahwa sebanyak 73,2 persen dari seluruh puskesmas di Indonesia telah memiliki dokter gigi, sementara sisanya—yakni 26,8 persen atau sekitar 2.737 puskesmas—belum memiliki tenaga dokter gigi.

“Melihat kondisi tersebut, dibutuhkan terobosan cepat dan menyeluruh untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut di seluruh lapisan masyarakat,” ujar Aji.

Upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dokter gigi antara lain dengan mengakhiri moratorium pendirian Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) pada 2022, sehingga jumlah FKG meningkat dari 32 menjadi 38. Selain itu, pemerintah juga menambah kuota mahasiswa kedokteran gigi.

Ada pula program pemberian beasiswa bagi putra-putri dari daerah tertinggal yang diharapkan kembali dan bertugas di daerah asal. Di samping itu, Kemenkes juga mengembangkan program magang untuk lulusan dokter gigi dan penugasan khusus ke daerah-daerah dengan kebutuhan tinggi. Pemerintah juga tengah fokus pada peningkatan kompetensi para Terapis Gigi dan Mulut (TGM) sebagai bagian dari strategi pelayanan kesehatan gigi yang lebih merata.