Bagikan:

Tiga kasus asusila yang diduga dilakukan oleh dokter membetot perhatian banyak pihak. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 2025–2028, DR. dr. Slamet Budiarto, SH, MH.Kes, ada tiga hal yang memengaruhi perilaku seorang dokter. Pertanyaan lanjutannya: apakah ini fenomena gunung es?

***

Menurut Slamet Budiarto, munculnya kasus dugaan asusila yang terjadi pada dokter di Bandung, Garut, dan Jakarta bisa ditelisik akar masalahnya. Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi penyebab perilaku menyimpang tersebut.

“Pertama, pendidikannya, selama proses pendidikan di kampus baik atau tidak. Yang kedua, sistem, seperti apa sistem kesehatan yang ada dalam lingkungan kerjanya. Dan yang ketiga adalah pembiayaan (gaji). Kalau ada ketimpangan di salah satu unsur itu, kerja seorang dokter tidak akan optimal. Artinya, mereka bisa melenceng,” katanya.

Memang terlalu dini untuk menyimpulkan soal apa yang menjadi penyebab utama dari perilaku menyimpang yang dilakukan oleh ketiga oknum dokter tersebut. Untuk kasus pertama, dokter yang sedang dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Padjadjaran, berinisial PAP, diduga melakukan pemerkosaan pada keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat. Sedangkan kasus kedua terjadi pada dokter kandungan berinisial MSF di Garut, yang terjadi di fasilitas kesehatan (rumah sakit dan klinik) karena tata kelola rumah sakitnya yang tidak bagus.

“Kalau tata kelola rumah sakitnya bagus, dia (dokter) tak punya cela untuk melakukan perbuatan tak terpuji. Karena ada pengawasan yang terus-menerus,” katanya.

Hal lain yang menjadi perhatian Slamet Budiarto adalah soal pengawasan dan pembinaan dokter yang lemah.

“Sejak UU No. 17 Tahun 2023 tentang Tenaga Kesehatan berlaku, IDI sudah tak punya kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran. Dalam penerbitan SIP juga sudah tak ada rekomendasi dari IDI. Jadi kewenangan yang sebelumnya dilakukan IDI diambil oleh Kementerian Kesehatan. Kalau pengawasan dan pembinaan lemah, bisa membahayakan masyarakat,” tegasnya kepada Edy Suherli, Ary Julianta, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto dari VOI yang menemuinya di kantor pusat PB IDI, Menteng, Jakarta, Senin, 19 April 2025.

Sejak berlakunya UU No. 17 Tahun 2023, kata Ketum PB IDI Slamet Budiarto,  peran membina dan mengawasi dokter ada pada Kementerian Kesehatan. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Sejak berlakunya UU No. 17 Tahun 2023, kata Ketum PB IDI Slamet Budiarto,  peran membina dan mengawasi dokter ada pada Kementerian Kesehatan. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Sejauh ini ada tiga kasus dokter yang diduga melakukan tindakan asusila; di Bandung, Garut, dan Jakarta. Bagaimana Anda mengamati kejadian ini?

Saya prihatin mendengar ada kejadian ini. Sesungguhnya dokter itu juga manusia. Dalam melaksanakan tugasnya, selalu dibatasi oleh sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sehingga seorang dokter, walaupun dia juga manusia, dalam melaksanakan profesinya harus suci, seperti malaikat. Namun dalam perjalanannya, dokter itu dipengaruhi oleh beberapa hal.

Apa saja itu?

Ada tiga hal yang menentukan baik atau tidaknya seorang dokter. Pertama, pendidikannya, selama proses pendidikan di kampus baik atau tidak. Kedua, sistem, seperti apa sistem kesehatan yang ada dalam lingkungan kerjanya. Dan ketiga adalah pembiayaan. Kalau ada ketimpangan di salah satu unsur itu, kerja seorang dokter tidak akan optimal. Artinya, mereka bisa melenceng.

Perbuatan buruk itu ada dua. Pertama, ada orang yang baik, namun karena ada kesempatan, akhirnya dia melakukan perbuatan yang tidak baik. Atau, ada juga dokter yang sejak awal memang sudah tidak baik. Kalau sistemnya baik, dokter tidak bisa atau sulit untuk melakukan perbuatan tak baik. Contoh konkret terjadi pada seorang dokter residen di RS Hasan Sadikin Bandung. Kalau tata kelola rumah sakitnya bagus, dokter tak bisa membawa pasien sendiri. Dokter tak bisa membawa obat sendiri. Jadi karena sistemnya tak berjalan, orang yang tidak mau pun punya kesempatan melakukan hal yang tidak baik. Ini karena ada kesempatan. Kalau dia tak bawa obat, tak ada kesempatan untuk membius, kejadian itu tak akan terjadi atau sulit terjadi.

Jadi menurut Anda, karena sistemnya tak berjalan?

Sistem yang tak berjalan membuat seorang dokter punya kesempatan. Kalau dia membawa obat, seharusnya bisa diingatkan oleh pihak rumah sakit. Tidak boleh. Karena sudah ada yang bertugas untuk itu.

Bagaimana dengan dokter kandungan di sebuah klinik di Garut?

Sama juga, kalau sistemnya bagus, dia tak boleh memeriksa pasien sendirian. Harus didampingi keluarga atau petugas kesehatan saat memeriksa pasien. Sistem kesehatannya tidak berjalan di sana.

Kalau kita mau memperbaiki pelayanan kesehatan, harus diawali dari jenjang pendidikan. Di kampus harus baik dulu. Tidak boleh ada perundungan dan pelanggaran. Lalu, tata kelola dan sistem kesehatan harus baik, SOP-nya harus berjalan. Jam kerjanya masuk akal. Dan pembiayaannya juga harus benar.

Bagaimana dengan pembiayaan dokter di Indonesia, kalau kita komparasi dengan mancanegara?

Di negara maju yang sistem kesehatannya sudah bagus, dokter dibayar dengan layak. Sehari seorang dokter melayani maksimal 10 pasien. Kalau di Indonesia, IDI masih menolerir seorang dokter melayani 20–30 pasien. Kerjanya sehari 8 jam, 8 jam × 6 hari = 48 jam, dibagi 30 sama dengan 16 menit per pasien. Ini masih masuk akal.

Soal dugaan dokter melanggar sumpah dan kode etik, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah mengeluarkan pernyataannya. Bagaimana Anda menanggapi pernyataan itu?

Pertama, saya menyampaikan apresiasi kepada Kementerian Kesehatan yang sudah memberikan pernyataan pers. Ini menunjukkan sudah ada itikad baik untuk melakukan perbaikan.

Kedua, yang perlu dicatat, kejadian-kejadian itu — dugaan pemerkosaan keluarga pasien di RS Hasan Sadikin, perundungan di RS Kariadi, dan perilaku merekam orang mandi oleh dokter PPDS di Jakarta — semuanya terjadi di rumah sakit yang dibawah langsung Kementerian Kesehatan. Dia menyesali karena tata kelola di rumah sakit itu belum baik. Ingat, yang membuat tata kelola itu juga Kementerian Kesehatan.

Ketiga adalah soal jam kerja. Berulang kali kami sampaikan bahwa dokter residen jangan bekerja lebih dari 50 jam. Standar Eropa 40 jam, IDI menolerir 50 jam. Mengapa? Ini untuk melindungi pasien dan dokter. Dan agar kualitas pelayanan rumah sakit meningkat.

Soal kasus asusila yang diduga dilakukan oleh dokter apakah bisa dikatakan sebagai fenomena gunung es? Menurut Ketum PB IDI Slamet Budiarto  jawabnya bisa ya dan bisa juga tidak, artinya ini sebagai anomali. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Soal kasus asusila yang diduga dilakukan oleh dokter apakah bisa dikatakan sebagai fenomena gunung es? Menurut Ketum PB IDI Slamet Budiarto  jawabnya bisa ya dan bisa juga tidak, artinya ini sebagai anomali. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Kementerian Kesehatan menerapkan berapa jam kerja dokter residen?

Kementerian Kesehatan menetapkan 80 jam per pekan. Kalau begini, bisa terjadi penyalahgunaan dan ini tidak aman untuk pasien dan juga dokternya sendiri. Pak Menteri bilang dokter residen harus digaji, itu bagus. Soalnya selama ini dokter residen kalau menerima pasien di RS, pemasukan uangnya untuk RS tersebut. Malah dia mengusulkan ke depannya SIP (Surat Izin Praktik) dokter residen diganti dengan SIP dokter umum, ini juga ngawur. Kalau dia minta pendapat pada IDI, kami akan beri masukan.

Ini ada kasus dokter yang diduga asusila, bagaimana peran IDI dalam konteks ini?

Sejak UU No. 17 Tahun 2023 tentang Tenaga Kesehatan berlaku, IDI sudah tak punya kewenangan dalam pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran. Dalam penerbitan SIP juga sudah tak ada rekomendasi dari IDI. Jadi kewenangan yang sebelumnya dilakukan IDI, diambil alih oleh Kementerian Kesehatan. Kalau pengawasan dan pembinaan lemah, bisa membahayakan masyarakat. Dulu untuk dapat SIP harus dites etikanya, sekarang tanpa itu bisa. Kalau ada kejadian, IDI bisa melakukan audit medis untuk pembinaan dan pengawasan. Sekarang IDI tak bisa lagi. Jadi kalau ada masalah seperti sekarang, kasus dugaan asusila, silakan tanyakan kepada Kementerian Kesehatan. Kejadiannya juga di RS di bawah Kementerian Kesehatan. Artinya, pembinaan dan tata kelola rumah sakit tidak berjalan optimal. Akibatnya, kepercayaan masyarakat bisa menurun.

Kasus dugaan asusila ini yang mencuat ada tiga kasus, apakah ini bisa dikatakan fenomena gunung es, artinya yang tak terlihat jauh lebih banyak?

Bisa iya dan bisa juga tidak. Bisa iya karena tidak ada yang berani melapor. Bisa juga tidak, karena ini hanya anomali saja. Jika dokter itu jam kerjanya 50 jam sepekan, artinya dia bisa punya lebih banyak waktu untuk bertemu keluarga, anak, dan istri. Ini bisa mengurangi tindakan kriminal. Kalau selama sepekan tak bertemu keluarga, dokter bisa ngawur. Artinya kesempatan itu harus ditutup. Daripada dites jiwanya, mending bertemu keluarga.

Sebelum kewenangan pengawasan pindah dari IDI ke Kementerian Kesehatan, seperti apa alur pengawasan dan pembinaan dokter?

Seorang dokter sebelum praktik harus menjadi anggota IDI. Lalu mengajukan rekomendasi izin praktik, IDI mengecek pengajuan itu. Setelah SIP keluar, IDI tetap melakukan pembinaan dan pengawasan. Kalau ada keluhan dari rumah sakit dan/atau pasien, kami bisa melakukan audit medis. Sekarang itu sudah tak ada lagi.

Memang ada oknum di IDI yang menggunakan kuasanya untuk menghambat SIP seseorang, tapi itu sangat kecil. Menurut saya, itu anomali di implementasi. Namun secara umum, dengan adanya pembinaan dan pengawasan ini amat melindungi masyarakat.

Saat itu, apa ada koordinasi antara IDI dengan penegak hukum?

Kami punya MoU dengan Mabes Polri dalam rangka melakukan pengawasan. Soalnya hal ini tidak bisa dilakukan sendirian, harus lintas organisasi. Dengan hadirnya UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang semua kewenangan pembinaan dan pengawasan ada pada Kementerian Kesehatan, akan kesulitan. Buktinya, muncul kasus-kasus yang sekarang heboh.

Ada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), apakah ini masih berfungsi?

Sekarang MKEK enggak punya kekuatan. Kalau dia memanggil terduga dokter yang melanggar etik, tidak memenuhi panggilan itu bisa saja. Beda dengan dulu saat IDI masih punya kewenangan. Sejak lama, dalam kedokteran itu yang utama adalah etika. Sekarang siapa yang menegakkan etika? Tidak ada. Ini bisa menjadi bom waktu.

Dulu ketika kewenangan masih ada di IDI, apakah ada pendampingan dan pembinaan untuk dokter yang terduga melanggar?

Untuk urusan kriminal kami tidak mendampingi, namun kalau dokter digugat pasien karena miskomunikasi, kami mendampingi.

Selama itu, penanganan untuk dokter terduga melanggar etik apakah transparan, hukuman yang diberikan bisa dipertanggungjawabkan?

Oh ya, MKEK tetap transparan untuk tindakan yang mereka lakukan. MKEK independen dan tak bisa diintervensi.

Untuk kasus perundungan di RS Karyadi Semarang, menurut analisis Anda mengapa itu bisa terjadi?

Bisa karena jam kerja yang terlalu tinggi (80 jam sepekan). Karena lama di rumah sakit, stres. Bisa juga karena dendam, karena dulu juga diperlakukan seperti itu oleh seniornya. Dan yang lainnya, dokter residen itu tidak mendapat gaji. Jadi penyebabnya ada banyak kemungkinan. Dulu seniornya memalak, lalu dia juga memalak juniornya. Tapi itu bisa diminimalisir dengan mengurangi jam kerja ke batas yang wajar. Lalu, ada MoU antara dokter residen dan rumah sakit. Dan terakhir, dokter residen itu digaji.

Jadi sistemnya yang perlu diperbaiki?

Ya, sistem itu yang perlu diperbaiki. Dan itu terjadi pada RS yang di bawah langsung Kementerian Kesehatan (RS vertikal), seperti RS Cipto Mangunkusumo, RS Karyadi, RS Hasan Sadikin, RS Harapan Kita, RS Sardjito. Jadi, baik tidaknya rumah sakit itu, yang mengatur adalah Kementerian Kesehatan. Di rumah sakit lain yang tidak langsung di bawah Kementerian Kesehatan juga ada perundungan, tapi angkanya lebih kecil. Saya tidak tahu mengapa begitu. Kalau tidak salah, angkanya 60% di RS vertikal, sisanya 40% di luar RS vertikal.

Dengan munculnya kasus asusila yang diduga dilakukan oknum dokter ini, apakah akan memengaruhi kepercayaan masyarakat?

Ya, akan memengaruhi, soalnya media terus memberitakan kasus ini. Namun, dari survei yang dilakukan, profesi dokter itu selalu berada di peringkat satu atau dua untuk profesi yang paling dipercaya.

Apa pesan Anda pada sejawat dokter, soalnya saat ini dalam sorotan publik?

Dengan kejadian ini, kita harus bisa mengambil hikmah. Pertama, dokter saat menjalankan tugasnya harus selalu ingat dengan sumpah dokter. Kedua, harus ingat dengan kode etik kedokteran. Ketiga, sebelum memeriksa pasien seorang diri, harus ditemani oleh tenaga kesehatan lain. Lalu keempat, setiap akan melakukan pemeriksaan harus izin secara lisan pada pasien. Dengan langkah-langkah seperti itu, dokter akan terhindar dari tindakan yang tidak terpuji.

Untuk rumah sakit atau klinik, saya harapkan harus punya tata kelola yang bagus. Soalnya dokter bisa saja berbuat tidak baik ketika tata kelola rumah sakit atau klinik tidak mendukung. Dokter itu tugasnya memeriksa pasien, bukan membawa obat. Kalau tata kelolanya baik, ini menutup celah untuk berbuat tidak baik.

Apa saran Anda untuk pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan?

Sistem pendidikan dokter harus diperbaiki. Soalnya dokter itu tenaga kesehatan yang strategis. Kalau perlu biayanya murah, atau disubsidi oleh pemerintah. Untuk dokter residen sebaiknya digaji, tidak seperti selama ini. Selama menempuh pendidikan, mereka masih bisa makan karena ada gaji yang didapat dari RS vertikal. Sesuai amanat UU, mengawasi dokter ini adalah tugas pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Tapi kalau hanya pemerintah saja, saya yakin akan kesulitan. Sebaiknya melibatkan organisasi profesi seperti IDI, kami ada di 514 kabupaten/kota di Indonesia. Dokter itu urgen karena berhubungan dengan nyawa pasien.

Kalau kita komparasi dengan negara lain, seperti apa mereka menangani kasus dokter yang diduga asusila?

Negara lain yang sistem kesehatannya sudah bagus, seperti negara maju, dokter praktik cuma punya satu SIP. Dia tidak perlu kerja keras karena pendapatannya sudah cukup. Dokter di sana kerjanya 8 jam sehari, mau satu atau dua pasien, durasinya tetap 8 jam kerja.

Jadi dokter tak perlu ngobyek ke mana-mana?

Tidak boleh. Fokus dokter hanya pada urusan pasien yang sakit. Soalnya ini urusannya dengan nyawa. Di negara maju sudah pada kualitas, kalau di Indonesia masih pada kuantitas.

Karena gajinya masih kurang, banyak dokter yang jualan obat. Jadi faktor pembiayaan di Indonesia belum baik. Sejak ada BPJS, sudah tidak bisa lagi kongkalikong antara dokter dengan perusahaan farmasi. Semuanya sudah masuk formula nasional dan harga obat ada di e-katalog.

Dari kejadian dugaan asusila oleh dokter ini, pelajaran apa yang bisa dipetik?

Dalam sistem kesehatan, tidak bisa sendirian membuat sistem pelayanan. Ada unsur stakeholder, di kedokteran yang paling besar ya IDI. Ini harus dilibatkan oleh pemerintah. Kalau tidak, tidak akan optimal. Kementerian Kesehatan mestinya menggandeng IDI. IDI punya tanggung jawab melindungi masyarakat dan melindungi dokter yang baik.

 

Slamet Budiarto dan Pesan untuk Dokter Muda

Ketum PB IDI Slamet Budiarto berpesan kepada para dokter untuk menyehatkan diri sendiri sebelum menjaga kesehatan pasien. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Ketum PB IDI Slamet Budiarto berpesan kepada para dokter untuk menyehatkan diri sendiri sebelum menjaga kesehatan pasien. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Profesi dokter menjadi buah bibir akhir-akhir ini. Setidaknya ada tiga kasus dugaan asusila yang mencuat. Menghadapi realitas ini, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Slamet Budiarto, SH, MH.Kes, punya pesan penting, yaitu jaga diri sebelum menjaga pasien, sehatkan diri sebelum menyehatkan pasien.

"Menjadi dokter itu buat saya adalah panggilan jiwa. Dulu waktu kecil saya banyak bertemu dengan orang susah. Masyarakat amat membutuhkan dokter. Itu yang memicu saya menjadi seorang dokter," ujar pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 9 Juni 1971.

"Waktu itu pendidikan dokter tak mahal seperti saat ini. Ayah saya, yang pegawai negeri sipil, masih mampu membiayai pendidikan dokter," ujar alumni Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (1991-1998) ini.

Bagi Budi, pengalaman yang amat mengesankan adalah ketika bisa membantu menyembuhkan pasien. "Itulah kebahagiaan yang saya temukan saat bisa membantu penyembuhan pasien. Ada kepuasan sendiri saya bisa menolong dan membantu penyembuhan pasien," katanya.

Dalam perjalanannya sebagai dokter umum, Budi kemudian tertarik juga pada bidang hukum. "Setelah menjadi seorang dokter, saya amati semua gerak-gerik kita itu ada implikasi hukumnya. Artinya kita harus tahu hukum, akhirnya saya kuliah lagi, mengambil S1 Hukum," kata alumni Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana, Bandung (2006-2009) dan Magister Fakultas Hukum Universitas Soegijapranata, Semarang (2005-2007) ini.

Meski punya lisensi sebagai advokat, Budi tak berpindah profesi. Ia tetap setia menjadi dokter. "Jadi saya ini advokat juga meski tidak melaksanakan tugas itu sehari-hari. Soalnya tujuan saya agar mengerti persoalan hukum, terutama yang terjadi di negeri ini," kata pemilik gelar Doktor dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2022).

"Saya ingin mengetahui kebijakan hukum dalam bidang kesehatan. Soalnya dalam praktiknya banyak terjadi atau muncul persoalan hukum setelah terjadi interaksi antara dokter dan pasien. Kasus yang paling sering muncul itu dugaan malpraktik karena komunikasi yang tidak lancar antara dokter dan pasien. Dengan sekolah hukum, saya mengetahui persoalan seperti ini," katanya.

 

Rajin Puasa Intermiten

Untuk menjaga kesehatan  dirinya, Ketum PB IDI Slamet Budiarto rajin menjalankan puasa interminten. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Untuk menjaga kesehatan  dirinya, Ketum PB IDI Slamet Budiarto rajin menjalankan puasa interminten. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Untuk menjaga kesehatan tubuh, salah satu yang menjadi perhatian dokter Slamet Budiarto adalah asupan makanan. "Usia di atas 50 tahun itu salah satu yang harus dijaga adalah asupan makanan. Konsumsi makanan harus dibatasi, makan secukupnya, tidak boleh berlebihan," katanya.

Untuk lebih tertib dalam urusan makan ini, ia melakoni intermittent fasting. "Saya sudah tiga tahun terakhir melakoni intermittent fasting. Setiap 16 jam puasa, baru makan. Ini saya lakukan agar tubuh memiliki kesempatan untuk melakukan detoksifikasi," ungkap Budi yang dulu memiliki bobot lebih besar. Kini berat badannya hanya 75 kg -76 kg. "Ini sudah berat ideal untuk saya. Sebelumnya saya sempat di angka 90 kg," lanjut Budi, yang juga mengurangi makanan berkadar gula tinggi.

Bagaimana dengan olahraga? "Olahraga tetap perlu, namun jangan yang terlalu berat. Olahraga permainan yang melelahkan kalau bisa dihindari," kata pria yang memilih golf dan renang sebagai olahraga pilihannya kini.

Bukan tanpa alasan mengapa ia memilih renang. "Berenang itu olahraga yang paling aman, karena semua organ tubuh bergerak dan tumpuannya air. Kalau lari, tumpuannya pada kaki. Itu bisa membebani persendian. Kalau tenis berbahaya untuk jantung," katanya.

 

Pesan untuk Dokter

Seorang dokter kata Ketum PB IDI Slamet Budiarto praktik jangan terlalu lama, 8 sampai 10 jam sehari sudah cukup. Sisakan waktu untuk kehidupan sosial dan keluarga. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Seorang dokter kata Ketum PB IDI Slamet Budiarto praktik jangan terlalu lama, 8 sampai 10 jam sehari sudah cukup. Sisakan waktu untuk kehidupan sosial dan keluarga. (Foto: Bambang Eros – VOI – DI: Raga Granada VOI)

Dalam hidup, menurut Budi, seseorang harus punya tujuan. "Orang yang beriman tujuannya bukan hanya untuk kehidupan di dunia ini saja. Kita harus mengejar cita-cita setinggi mungkin. Namun ada kehidupan di akhirat yang kekal. Kita harus menyiapkan bekal di dunia untuk menuju kehidupan yang kekal itu," katanya.

Budi yakin benar bahwa menjaga lebih baik daripada mengobati. "Karena itu kita harus melakoni gaya hidup sehat. Malam, kalau tak penting sekali, tak perlu begadang. Tidur yang cukup amat bermanfaat untuk kesehatan," katanya.

Ia juga amat menghargai proses. "Semua itu ada prosesnya, tidak bisa langsung jadi atau instan. Jadi untuk mencapai tujuan harus melalui langkah demi langkah. Nikmati prosesnya agar Anda lebih menghargai pencapaian yang diperoleh. Sembari proses berlanjut, jangan lupa berjuang dan berdoa, terutama doa kedua orang tua," saran Budi.

Untuk para dokter muda, Slamet Budiarto punya pesan khusus. "Melayani masyarakat adalah tugas utama sebagai tenaga kesehatan, namun kita juga harus menjaga diri sendiri. Praktik jangan terlalu lama, 8 sampai 10 jam sudah cukup dalam sehari. Sisakan waktu untuk kehidupan sosial dan keluarga," tandasnya.

"Dengan kejadian ini kita harus bisa mengambil hikmah. Pertama, dokter saat menjalankan tugasnya harus selalu ingat dengan sumpah dokter. Kedua, harus ingat dengan kode etik kedokteran. Ketiga, sebelum memeriksa pasien seorang diri, harus ditemani oleh tenaga kesehatan yang lain. Lalu keempat, setiap akan melakukan pemeriksaan harus izin secara lisan pada pasien. Dengan langkah-langkah seperti itu, dokter akan terhindar dari tindakan yang tak terpuji,"

Slamet Budiarto