Bagikan:

JAKARTA – Hemodialisis, atau yang sering disebut cuci darah, merupakan prosedur medis esensial bagi pasien ginjal kronis tahap akhir (end-stage renal disease). Pada tahap ini, fungsi ginjal menurun drastis hingga di bawah 15 persen, sehingga tubuh tidak lagi mampu membuang limbah metabolisme dan cairan berlebih secara alami.

Pasien biasanya perlu menjalani prosedur ini 2–3 kali per minggu untuk mempertahankan kualitas hidup mereka. Proses cuci darah pun melibatkan mesin dialisis dan sebuah alat penting bernama dialyzer.

Dialyzer berbentuk tabung dengan membran berpori yang memungkinkan limbah metabolisme dan cairan tubuh berlebih keluar dari darah, membantu menjaga fungsi tubuh tetap stabil.

Di Indonesia, kebutuhan akan alat hemodialisis terus meningkat seiring tingginya prevalensi penyakit ginjal kronis. Data dari BPJS Kesehatan menunjukkan, cuci darah merupakan salah satu prosedur dengan biaya terbesar, mencapai Rp2,9 triliun pada tahun 2023.

Angka ini menunjukkan tingginya beban pengeluaran, terutama karena 85 persen pasien cuci darah berasal dari kelompok usia produktif. Hal ini tentunya dapat membawa dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.

Selama ini, hampir seluruh alat hemodialisis di Indonesia diimpor dari negara lain, seperti China, Jepang, dan negara-negara Eropa. Ketergantungan pada impor tidak hanya meningkatkan biaya, tetapi juga menciptakan tantangan dalam memastikan pasokan yang stabil dan terjangkau bagi pasien.

Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada impor, Indonesia kini mulai memproduksi alat hemodialisis secara lokal. Salah satu inovasinya adalah dialyzer buatan dalam negeri yang dikenal sebagai RenaCare. Kehadiran alat ini menjadi langkah penting untuk memenuhi kebutuhan pasien gagal ginjal sekaligus meningkatkan kemandirian industri kesehatan nasional.

Fasilitas produksi alat cuci darah lokal RenaCare milik anak perusahaan PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe), PT Forsta Kalmedic Global (Forsta), di Kalbe Business Innovation Center, Cakung, Jakarta Timur. (dok. Forsta)
Fasilitas produksi alat cuci darah lokal RenaCare milik PT Forsta Kalmedic Global (Forsta), di Kalbe Business Innovation Center, Cakung, Jakarta Timur. (dok. Forsta)

"Produksi lokal dialyzer menghilangkan bea impor dan biaya pengiriman dari luar negeri, sehingga harga lebih terjangkau dan biaya perawatan hemodialisis menjadi lebih aksesibel bagi pasien dan fasilitas kesehatan,"

"Selain itu, produksi lokal dialyzer juga mengurangi ketergantungan impor, memastikan ketersediaan produk, menghindari gangguan rantai pasok global, dan menekan dampak fluktuasi nilai tukar,” demikian ujar Direktur PT Forsta Kalmedic Global, Yvone Astri Della Sijabat di Jakarta, baru-baru ini.

Produksi lokal dialyzer dinilai memiliki beberapa manfaat signifikan. Dari segi ekonomi, langkah ini membantu mengurangi biaya impor dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri kesehatan.

Sementara itu, dari sisi kesehatan, alat yang diproduksi secara lokal lebih mudah diakses dengan harga yang lebih terjangkau, sehingga dapat meringankan beban biaya perawatan bagi pasien ginjal dan fasilitas kesehatan.

Produksi alat kesehatan lokal, termasuk dialyzer, juga telah memenuhi standar yang ditetapkan. RenaCare, misalnya, menggunakan lebih dari 40 persen komponen dalam negeri dan telah mendapatkan sertifikasi Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB) dari Kementerian Kesehatan.

Langkah untuk memproduksi alat hemodialisis secara lokal memberikan harapan baru bagi pasien gagal ginjal di Indonesia. Dengan ketersediaan alat yang lebih terjangkau dan efisien, diharapkan semakin banyak pasien yang dapat mengakses perawatan hemodialisis tanpa beban biaya yang berat.

Selain itu, pengembangan industri lokal ini juga mencerminkan potensi besar Indonesia dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat secara mandiri.