Bagikan:

 

JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menegaskan tetap menolak wacana kenaikan royalti mineral dan batu bara. Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, sejak awal tahun 2025 penambang nikel sudah dihadapkan dengan berbagai tantangan berat.

"Kami menilai sejak awal 2025 kami sudah banyak dibebani dengan 'kado tahun baru' yang sangat membebani kami. Contohnya satu ya dari kewajiban beban di pertambangan yaitu penggunaan biodiesel dari B30 ke B40," ujarnya dalam Mining Zone yang dikutip Sabtu, 5 April.

Ia menjelaskan, penggunaan B40 dalam pertambangan membuat harga produksi bertambah drastis karena cost pertambangan juga meningkat.

Tak hanya itu, penambang nikel juga harus dihadapkan pada kewajiban Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) dengan kewajiban retensi 100 persen selama 1 tahun yang dinilai mengganggu arus kas perusahaan.

"Tentu ini juga ganggu cashflow karena 2023 kita hanya 3 bulan tapi hanya 30 persen, saat ini harus 1 tahun untuk 100 persen," sambung ia.

Di sisi lain,  beberapa perusahaan juga telah dikenakan global minimum tax sebesar 15 persen serta upah minimum sebesar 6,5 persen bagi pekerja lokal.

"Artinya beberapa kewajiban yang baru kami dapatkan pada tahun 2025 ini, di mana harga semakin turun. Kalau harga semakin naik ya kami juga setuju, tapi karena kondsi harga yang semakin turun sejak 2024 kemarin mau tak mau, memaksa kami untuk efisiensi cost," terang Meidy.

Sementara itu saat penambang melakukan efisiensi biaya, pemerintah kembali mengeluarkan aturan baru dengan mengerek tarif royalti mineral dan batu bara.

"Walau ini masih wacana dan belum ditetapkan dalam aturan, kami merasa sebentar lagi akan keluar. Para pengusaha ini baik dari upstream di penambang maupun ke downstream pelaku smelter merasa keberatan," tandas dia.