JAKARTA – Rencana Indonesia untuk mengekspor listrik energi terbarukan ke Singapura diperkirakan menghasilkan tambahan devisa hingga 4,2 miliar dolar AS per tahun dan pajak penghasilan sebesar 210 juta hingga 600 juta dolar AS per tahun
Analis Keuangan Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Mutya Yustika mengatakan, Indonesia perlu menetapkan kuota dan tarif listrik khusus untuk memastikan manfaat tersebut berhasil diperoleh.
"Pada awal bulan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menahan dikeluarkannya izin ekspor listrik ke Singapura lantaran merasa belum ada imbal balik yang menguntungkan Indonesia. Namun, Laporan terbaru “Maximizing Reciprocal Benefit from Indonesia's Green Electricity Export to Singapore” menunjukkan hal sebaliknya," ujarnya, Kamis, 6 Maret.
Mengacu laporan tersebut, lanjut dia, Indonesia dapat memperoleh tambahan devisa sebesar 4,2 hingga 6 miliar dolar AS dan pajak penghasilan 210 hingga 600 juta dolar AS setiap tahun dengan mengekspor listrik hijau ke Negeri Singa itu.
"Hitungan ini dengan asumsi ekspor listrik sebesar 3,4 gigawatt (GW) dengan tarif yang disepakati sekitar 14 sen hingga 20 sen dolar AS per kilowatt hour (kWh)," sambung dia.
Indonesia juga dapat menerapkan royalti untuk setiap kWh listrik yang diekspor ke Singapura untuk semakin memperbesar pendapatan negara.
“Rencana ekspor listrik ke Singapura ini akan menghasilkan tambahan devisa dan pajak penghasilan yang signifikan, yang pada akhirnya dapat membantu Indonesia membiayai proyek-proyek energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, dengan membebankan pembiayaan listrik energi terbarukan ke Singapura, hal ini dapat meringankan beban APBN,” beber Mutya.
Selain itu, pembangunan pembangkit listrik untuk mendukung ekspor listrik tersebut juga akan turut memperkuat manufaktur dan rantai pasok industri energi terbarukan Indonesia.
Asal tahu saja, saat ini pertumbuhan kapasitas energi terbarukan yang hanya dalam bilangan ratusan megawatt (MW), yang kurang memadai dalam rangka mendukung pelaku industri manufaktur yang harus mengoperasikan pabrik dalam skala besar agar ekonomis.
Ia menilai, target ekspor listrik 2 GW setidaknya akan membutuhkan pasokan panel surya hingga 11 gigawatt peak (GWp) dan baterai penyimpanan (BESS) 21 gigawatt hour (GWh), yang merupakan permintaan signifikan bagi industri manufaktur kedua suku cadang tersebut.
“Lebih jauh, ekspor listrik ke Singapura akan membuka peluang kerja baru di Indonesia. Sebagai contoh, PLTS Cirata 192 megawatt peak (MWp) mempekerjakan 1.400 pekerja selama masa konstruksi dan operasi. Dengan kapasitas panel surya 11 GWp, diperkirakan 80 ribu pekerja akan dibutuhkan, tidak termasuk tambahan pekerja yang dibutuhkan oleh industri manufakturnya,” terang Mutya.
BACA JUGA:
Untuk memastikan Indonesia memperoleh manfaat dari ekspor listrik ini, sejumlah hal perlu diselesaikan. Pertama, pemerintah Indonesia dapat menetapkan kuota kapasitas dan volume listrik energi terbarukan yang akan diekspor ke Singapura, dengan tetap memastikan kebutuhan listrik bersih domestik terpenuhi.
Kedua, perlu ditetapkan tarif listrik khusus untuk ekspor listrik energi terbarukan yang merefleksikan harga pasar dan kesepakatan kedua pihak, mengingat biaya transmisi ekspor listrik akan lebih tinggi.
Ketiga, Indonesia dan Singapura harus menyepakati pembagian manfaat kredit karbon yang adil. Meski Singapura adalah pembelinya, posisi ini seharusnya tidak meniadakan peran Indonesia mengingat pembangkit listrik energi terbarukan tersebut berada di wilayah Indonesia.
“Ekspor listrik energi terbarukan ke Singapura akan meningkatkan kapasitas energi terbarukan Indonesia secara signifikan. Dengan PLTS akan mendominasi, kapasitas energi terbarukan Indonesia akan melebihi 10 GW, yang akan memperkuat portofolio energi Indonesia,” tandas Mutya.