Kelangkaan Minyak Goreng Berlarut-larut, Pengamat: Perbaiki Rantai Distribusi
Ilustrasi (dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Minyak goreng mengalami kelangkaaan sejak awal tahun lalu. Bahkan, hingga saat ini minyak goreng masih sulit ditemukan di pasaran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah dinilai perlu memperbaiki rantai distribusi komoditas tersebut.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu memperbaiki rantai distribusi minyak goreng di Tanah Air. Namun, memperbaiki rantai distribusi tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Lebih lanjut, Bhima menjelaskan setidaknya harus membongkar terlebih dahulu struktur produsen minyak goreng di Indonesia yang terlalu oligopoli.

Berdasarkan data olahan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ada sejumlah produsen minyak goreng yang memiliki pangsa pasar tertinggi. Terbesar memiliki pangsa 14 persen, 13,3 persen, 11 persen, dan 8,2 persen. Dari temuan tersebut, maka 46,5 persen rasio konsentrasi pangsa pasar dikuasai oleh empat perusahaan.

"Kita bongkar dulu struktur produsen yang terlalu oligopoli, produsen minyak goreng inikan 40 persen lebih dikuasai oleh produsen besar. Maka seharunya dilakukan break up. Tidak boleh tuh penugasan terlalu besar begitu. Jadi dipisah kepada perusahaan-perusahaan kecil yang tidak terafiliasi agar pasar itu tidak dikuasai kelompok pemain besar," katanya saat dihubungi VOI, Selasa, 8 Maret.

Bhima mengatakan bahwa strategi break up diambil contoh dari perusahaan jasa keuangan dan perusahaan digital yang ada di Amerika Serikat. Dimana mereka diminta untuk break up agar tidak terlalu dominan pemain-pemain besar.

Lebih lanjut, menurut Bhima ketika tidak banyak kelompok pelaku usaha yang mendominasi pasar, maka mekanisme pasar minyak goreng akan menjadi lebih adil terutama bagi konsumen akhir.

"Dan itu salah satu cara yang mungkin efektif. Sehingga banyak pesaing tidak ada yang mendominasi maka market-nya lebih fair bagi konsumen terutama," jelasnya.

Namun, kata Bhima, sebagai solusi jangka pendek dalam menyelesaikan permasalahan minyak goreng saat ini adalah dengan memperbaiki dulu masalah tata niaganya. Sehingga, hambatan-hambatan dalam distribusi bisa diketahui.

"Misalnya minyak goreng itu kan sampai tujuh pemain ke level konsumen. Jadi di mana ini titik masalahnya. Kalau memang ada distributor yang bermain, siapa yang bermain? Jadi ini harus ada penegakan hukum di tata niaganya, jadi memastikan," ucapnya.

Menurut Bhima, jika Kementerian Perdagangan mengklaim pasokan minyak goreng aman, namun di pasaran masih sulit ditemukan bahkan harganya jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), berarti ada yang tidak beres di level distributor.

"Kalau klaim pasokan aman, tapi tidak sampai ke masyarakat bawah berarti kan ada distributor yang bermain. Ini harus dilakukan penegakan hukum," ujarnya.

Senada, Anggota Komisi VI DPR, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, menyoroti masalah kelangkaan minyak goreng yang belum terselesaikan hingga saat ini. Deddy menilai bahwa kelangkaan minyak goreng yang terjadi di dalam negeri disebabkan rantai pasok yang rusak. Menurut dia, rantai pasok mulai dari pabrik hingga pedagang sudah tidak saling tersambung.

"Saya justru melihat bahwa industri ini rusak parah, rantai pasoknya dari hulu hingga hilirnya sudah bermasalah. Rantai pasok itu mulai dari pekebun sawit, produsen CPO, pabrik minyak goreng, distributor, agen, hingga pedagang, sudah tidak saling nyambung," kata Deddy, melalui keterangan tertulisnya, Selasa, 8 Maret.

"Semua pihak dirugikan. Jadi tidak hanya rakyat yang kesulitan mendapatkan barang, tetapi harganya pun sangat mahal. Sebab produsen CPO juga mengeluh," sambungnya.