JAKARTA – Arus balik menjadi penanda berakhirnya musim libur Idulfitri 1446 Hijriah. Masyarakat yang pulang kampung alias mudik mulai kembali ke perantauan, dan tak sedikit di antara mereka yang mengajak sanak saudara untuk ikut mengadu nasib di kota-kota besar.
Sudah menjadi rahasia umum, arus balik Lebaran dimanfaatkan banyak orang dari berbagai daerah untuk mencoba mengadu nasib di kota besar. Salah satu kota yang menjadi tujuan para perantau adalah Jakarta.
Meski wacana status sebagai ibu kota bakal dicabut mengemuka sejak dua tahun terakhir, walau banyak testimoni bahwa hidup Jakarta tak seindah cerita orang, nyatanya kota ini tetap menjadi salah satu destinasi favorit para perantau.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Budi Awaluddin memprediksi jumlah pendatang baru ke ibu kota saat arus balik Lebaran 2025 sebanyak 10.000 sampai 15.000.

“Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta memprediksi bahwa pada arus mudik balik tahun ini diperkirakan akan turun. Prediksi kami jumlah pendatang pada arus mudik balik sekitar 10.000 hingga 15.000 orang pendatang baru," kata Budi Awaluddin, mengutip Kompas.
Angka ini menurut klaim Budi Awaluddin turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2023 jumlah pendatang yang masuk Jakarta sebanyak 25.918 orang dan 16.207 di tahun lalu.
Peningkatan di Kota Penyangga
Penurunan ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya program penataan dokumen kependudukan. Sekarang ini, penduduk yang datang maupun yang menetap di Jakarta sudah satu tahun wajib memindahkan dokumen pendudukannya sesuai dengan domisili.
Budi menganggap penurunan ini sebagai kabar positif untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena artinya, pembangunan di daerah-daerah sekitar Jakarta sudah merata.
Tapi klaim ini tidak sejalan dengan pengamatan pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga. Ia meyakini arus urbanisasi dari daerah, utamanya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, ke Jakarta bakal membludak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya namun dengan cara berbeda.
Hal ini sudah dan akan terlihat dari peningkatan jumlah penduduk di wilayah penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Bodetabek. Dituturkan Yoga, mereka yang tinggal di kota pinggiran tak berarti semuanya bekerja di sana, melainkan menyingkir ke kota penyangga demi menekan biaya hidup.

Seperti diketahui, biaya hidup di Jakarta seperti kos atau kontrakan lebih mahal dibandingkan kota-kota lainnya. Hal inilah yang membuat mereka memilih tinggal di Bodetabek ketimbang Jakarta.
“Jadi sebenarnya mereka tetap bekerja di Jakarta, tapi tinggal di pinggiran Jakarta,” kata Nirwono Yoga.
Kemudian para pendatang berangkat kerja ke Jakarta menggunakan transportasi publik seperti kereta commuter line, bus Transjakarta, atau motor. Hal inilah yang membuat Jakarta makin macet.
Menurut pengamatan Nirwono Yoga, hal ini sudah terjadi sejak tahun lalu. Ia mencontohkan Tangerang Selatan yang mengalami kenaikan penduduk 10 persen.
“Makanya Dukcapil Jakarta jangan pakai kacamata kuda dengan melihat angkanya turun berarti masalah di Jakarta berkurang. Tapi buka data Dukcapil di Bodetabek, itu ada dua angka peningkatan,” terangnya.
Pusat Perputaran Uang
Jakarta, kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, masih menjadi pusat perputaran uang di Indonesia. Angkanya menyentuh 70 persen perputaran uang ada di sana. Karena itulah, Jakarta tetap akan menjadi magnet bagi para pendatang baru untuk mencari pekerjaan.
Ditambah pemangkasan anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto sangat terasa efeknya seusai Lebaran. Efisiensi anggaran berimbas pada pemangkasan belanja daerah.
Padahal belanja daerah sedianya bisa menggerakkan perekonomian lewat program pengadaan barang dan jasa ke pihak swasta, perjalanan dinas, biaya pegawai honorer, dan sebagainya. Sayangnya sektor-sektor ini akan dihemat lantaran kebijakan efisiensi anggaran. Dengan kata lain, ekonomi di daerah akan langsung macet.
BACA JUGA:
"Ini artinya masyarakat yang belum mendapatkan pekerjaan di daerah atau berhenti karena penghematan anggaran, lebih cenderung mencari pekerjaan ke Jabodetabek," papar Bhima.
"Karena di daerah sedang ada efisiensi. Jadi arus urbanisasi semakin deras kalau begini terus. Sementara meskipun efisiensi, APBD Jakarta besar sekali (Rp91 triliun)," imbuhnya.
Nirwono Yoga, sebagai pengamat tata kota, menjabarkan beberapa masalah jika arus urbanisasi ke Jakarta dan daerah sekitar tak diantisipasi. Pertama, Jakarta dan sekitarnya diramalkan akan semakin macet sementara transportasi publik belum memadai.
“Menjamurnya pemukiman-pemukiman kumuh kalau (pemda) tidak menyediakan tempat yang lain. Terakhir, pengangguran di Jakarta meningkat,” ucapnya.

Sementara itu, Bhima mengatakan, dalam skala lebih luas fenomena ini akan memunculkan brain drain atau fenomena di mana tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi meninggalkan daerah asal mereka untuk mencari peluang yang lebih baik.
Jumlah wirausaha yang membuka lapangan kerja di daerah juga semakin terbatas karena banyak yang memutuskan menjadi karyawan di kota besar.
"Ketiga tentu jadi beban sosial, kriminalitas yang pada ujungnya memperlebar ketimpangan ekonomi antara kota dan desa," pungkas Bhima.