Bagikan:

JAKARTA - Tantangan ekonomi yang dialami masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah, membuat perputaran uang selama libur Lebaran 2025 turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. 

Tradisi pulang kampung atau mudik yang biasa dilakukan jutaan orang Indonesia tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. 

Hal ini tercermin dari data Sistem Informasi Angkutan dan Sarana Transportasi Indonesia (Siasati) yang menunjukkan akumulasi pergerakan penumpang dari lima moda transportasi umum hingga H-3 Lebaran sebesar 6,75 juta orang atau turun 4,8 persen dari tahun lalu. 

Penurunan paling tajam terjadi pada moda bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yaitu sebesar 10,2 persen. Moda pesawat terbang yang turun 6,8 persen, dan kapal laut 4,8 persen.

Suasana di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, saat momen libur di hari ketiga Lebaran Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah, Rabu (2/4/2025).  (ANTARA/Sri Dewi Larasati)

Data serupa juga disampaikan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Selasa (1/4/2025), yang menyebut hanya sekitar 146,48 juta orang yang melakukan perjalanan mudik Lebaran 2025. Angka ini turun sekitar 24 persen dibandingkan musim mudik tahun lalu yang mencapai 193,6 juta orang atau sekitar 71, 7 persen dari total penduduk Indonesia. 

Situasi Ekonomi Nasional

Penurunan jumlah pemudik tahun ini disebut berkaitan dengan situasi ekonomi nasional yang sedang tidak baik-baik saja. Mulai dari tingginya angka pemutusan hubungan kerja, sampai kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 

Pengamat ekonomi sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menyebut salah satu penyebab menurunnya jumlah pemudik tahun ini karena daya beli melemah. 

"Faktor pemicunya tentu karena daya beli yang melemah. Masyarakat banyak yang pendapatannya turun, bahkan juga ter-PHK, sehingga ada yang sebagian kemudian tidak memutuskan untuk mudik karena mungkin keterbatasan dari anggaran," jelas Eko.

Petugas kepolisian dan dishub mengatur lalulintas saat diberlakukan sistem one way atau satu arah di Jalur Selatan Lingkar Gentong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (29/3/2025). (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/wpa/aa)

Indonesia diguncang masalah ekonomi setidaknya sejak pertengahan tahun lalu. Daya beli masyarakat anjlok yang ditandai dengan deflasi selama lima bulan beruntun sejak Mei sampai September 2024.  

Deflasi kembali terjadi pada Februari atau satu bulan sebelum Ramadan, periode di mana tingkat konsumsi masyarakat biasanya melonjak tajam. 

"Daya beli masyarakat lagi sulit-sulitnya. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sampai layanan jasa seperti tiket bus, kereta, bahkan pesawat sudah pasti memengaruhi," jelas Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi Askar. 

Perputaran Uang Rendah

Penurunan tidak hanya terlihat dari mobilitas masyarakat di musim mudik Lebaran, tetapi juga tercermin dalam perputaran ekonomi. 

Menurut catatan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) total transaksi selama mudik 2025 hanya menyentuh angka Rp137,975 triliun, lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp157,3 triliun. 

“Jika tahun lalu asumsi perputaran uang selama Idulfitri 2024 mencapai Rp157,3 triliun,maka asumsi perputaran tahun ini diprediksi mencapai Rp137,975 triliun, turun 12,28%,” tutur Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang dalam rilisnya. 

Penurunan daya beli masyarakat, kata Askar, tak bisa dipisahkan dari tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor.

Warga membeli sayuran di sebuah stan yang menjual produk pertanian di Kantor Dinas Pangan dan Hortikultura Jawa Barat di Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/3/2025). (ANTARA/Raisan Al Farisi/nz)

Industri manufaktur, teknologi, perbankan, pengolahan, jasa, hingga ritel termasuk yang paling banyak menyumbang PHK. 

Kurang lebih 80 ribu orang mengalami PHK sepanjang 2024, menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berkisar 60 ribu orang. 

"Saat orang di-PHK mereka pasti menyimpan uangnya untuk membeli yang penting-pentng saja kan? Imbuh Askar. 

Selain PHK, ketidakpasian usaha dan upah yang stagnan juga ikut memengaruhi rendahnya angka pemudik tahun ini.

Terakhir, dijelaskan Askar, bantuan sosial untuk masyarakat kelas bawah juga ikut menurun. Menurut pengamatan CELIOS bantuan ini turun sekitar 16 persen atau dari Rp168 triliun tahun lalu menjadi Rp140 triliun tahun ini. 

Padahal bansos ini menjadi napas masyarakat bertahan hidup. Bantuan ini pula yang digunakan untuk menjalankan usaha di kota masing-masing. 

"Dalam situasi sekarang, uang dari bantuan sosial bisa dipakai untuk mudik," pungkasnya.