Penderita Diabetes di Indonesia Terus Meningkat karena Perhatian Pemerintah Tak Pernah Serius
Indonesia menempati peringkat lima negara dengan penderita diabetes tertinggi di dunia. (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA – Angka penderita diabetes di Indonesia terus meningkat hingga namun di satu sisi, konsumsi gula di Tanah Air justru ikut melonjak, sehingga keseriusan pemerintah menekan laju diabetes dipertanyakan.

Mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diabetes adalah penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (atau gula darah), yang seiring waktu menyebabkan kerusakan serius pada jantung, pembuluh darah, mata, ginhal, dan saraf.

Glukosa merupakan sumber energi utama bagi sel tubuh manusia, namun pada penderita diabetes, glukosa tidak dapat digunakan oleh tubuh.

Prevalensi diabetes di Indonesia. (RRI)

Diabetes sendiri memiliki dua tipe utama, yaitu diabetes tipe 1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan menghancurkan sel-sel pankreas yang memproduksi insulin. Diabetes tipe 1 disebut juga diabetes autoimun.

Sementara itu, diabetes tipe 2 merupakan jenis diabetes yang banyak terjadi, yakni sekitar 90-95 persen. Diabetes tipe 2 terjadi ketika sel-sel tubuh menjadi kurang sensitif terhadap insulin sehingga insulin yang dihasilkan tidak bisa digunakan dengan baik. Kondisi ini dikenal juga dengan istilah resistensi insulin.

Konsumsi Gula Tinggi

Indonesia sendiri termasuk negara dengan angka penderita diabetes yang cukup tinggi. International Diabetes Federation (IDF) pada 2021 mencatat sebanyak 537 juta orang dewasa, usia 20-79 tahun, atau 1 dari 10 orang hidup dengan diabetes di seluruh dunia. Diabetes juga menyebabkan 6,7 juta kematian atau dengan kata lain satu orang meninggal dunia setiap lima detik akibat diabetes.

Menurut data yang sama, Indonesia menempati peringkat kelima negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak di dunia. IDF menyebut sebanyak 19,47 juta penduduk di Indonesia menderita diabetes.

Di atas Indonesia secara berurutan ditempati Amerika Serikat (32,22 juta penderita), Pakistan (32,96), dan India (74,19 juta). Sementara pada posisi pertama diduduki Cina sebagai negara dengan penderita diabetes terbanyak di dunia. IDF mencatat 140,87 juta penduduk di Negeri Tirai Bambu hidup dengan diabetes pada 2021.

Mirisnya, di tengah kekhawatiran soal angka penderita diabetes, konsumsi gula malah terus meningkat, bahkan mencetak rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Tingginya konsumsi gula disebut sebagai salah satu penyebab tingginya angka penderita diabetes. (Pixabay)

Data dari National Sugar Summit (NSS) yang diselenggarakan pada 13 Desember 2023 menunjukkan konsumsi gula akhir tahun lalu mencapai 3,4 juta ton. Ini adalah angka tertinggi sejak 10 tahun yang lalu atau pada 2013 sebesar 2,61 juta ton.

Pada dasarnya, konsumsi gula tidak dilarang, karena gula merupakan salah satu sumber energi. Hanya saja, konsumsi gula tidak boleh berlebihan. Sebagai informasi, menurut Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 anjuran konsumsi gula per hari adalah maksimal 10 persen dari total energi (200kkal) per orang. Ini setara dengan gula empat sendok makan atau 50 gram per orang per hari.

Tren minuman manis dalam beberapa tahun terakhir disebut sebagai salah satu penyebab tingginya konsumsi gula di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat yang rela mengantre demi mendapatkan minuman atau makanan yang sedang viral, meski memiliki kandungan gula yang tinggi.

Namun sayangnya, pemerintah terlihat seperti kurang serius dalam menanggulangi tingginya konsumsi gula yang berpotensi menyebabkan diabetes dan obesitas. Penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) masih tarik ulur sampai sekarang, dan cenderung menuai pro kontra.

Beberapa kalangan menilai cukai MBDK penting diberlakukan guna menekan prevalensi diabetes. Tapi, ada pula yang menganggap penerapan cukai bukan solusi untuk menekan konsumsi gula.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan pentingnya regulasi pemerintah yang mengatur peredaran minuman berpemanis untuk mengurangi anak obesitas dan diabetes.

Ketua Pengurus Pusat IDAI dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) baru-baru ini menuturkan keprihatinannya karena beragam jenis minuman berpemanis buatan mudah ditemukan di minimarket dan menarik perhatian anak.

Ia pun mendorong pemerintah untuk meniru negara lain yang memiliki pengaturan cukai minuman atau makanan berpemanis dalam kemasan.

Deretan minuman bersoda dan berpemanis dalam kemasan yang menjadi salah satu pemicu diabetes. (Pixabay)

"Kalau di luar negeri ada cukai soft drink. Ada baiknya juga di setiap minuman manis atau makanan tinggi gula dicantumkan kadar gulanya. Ada juga yang menyatakan kita ini sudah darurat obesitas karena diperkirakan akan ada 7 juta anak yang mengalami obesitas setiap tahunnya," ujarnya, mengutip Antara, Sabtu (24/2/2024).

"Semua harus berusaha melindungi anak dari obesitas dan diabetes sebab sebagian besar obesitas ini terjadi karena pola makan yang salah. Solusinya dapat dilakukan perubahan gaya hidup dan kami akan mengadvokasi agar ada regulasi bagi makanan serta minuman berpemanis dapat segera ada," tegas Piprim.

Di sisi lain, Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (Gapmmi) menggap rencana pemerintah untuk menerapkan cukai minuman manis pada 2024 masih kurang tepat untuk mengurangi konsumsi gula. Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan cukai bukan solusi untuk mengendalikan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM).

"Secara resmi, Gapmmi belum di undang, namun dalam berbagai kesempatan, kami sampaikan bahwa pengendalian PTM tidak tepat dengan cukai," ungkap Adhi pada Kmis (4/1/2024).

Meniru Singapura

Indonesia mungkin bisa menengok bagaimana cara Singapura dalam mengendalikan konsumsi gula di masyarakat. Keseriusan pemerintah Singapura dalam menekan angka penderita diabetes terlihat dari mekanisme Nutri Grade yang mereka terapkan pada produk minuman manis.

Belum lama ini beredar video yang memperlihatkan minuman kemasan di pusat perbelanjaan di Singapura memiliki label nilai gula atau Nutri Grade dengan penilaian ABCD. Nilai A sebagai minuman kategori gula terendah, dan D sebagai kategori gula tertinggi.

Langkah pemerintah Singapura mengatur label pada minuman didasari proyeksi pasien diabetes bakal melonjak pada 2050 dengan satu juta kasus. Regulasi ini awalnya diterapkan pada minuman kemasan sejak 30 Desember 2022. Setelah dianggap berhasil, aturan tersebut diperluas di akhir 2023 dengan menyasar minuman siap saji yang dijual seperti bubble tea dan kopi susu.

Singapura memberikan label nilai gula atau Nutri Grade pada minuman kemasan. (Mothership.sg)

Mengutip Mothership.sg, skema pelabelan minuman Nutri Grade berdasarkan pada kandungan gula serta lemak jenuh. Pelabelan minuman Nutri Grade C dan D bersifat wajib pada seluruh minuman, sementara pelabelan minuman Nutri Grade A dan B bersifat opsional.

Dengan adanya pelabelan ini, masyarakat Singapura diharapkan lebih bijak dalam memilih minuman sehat. Hal seperti inilah yang seharusnya juga dilakukan pemerintah Indonesia untuk menekan angka penderita diabetes.

Terkait