Program Diversifikasi Pangan yang Belum Berhasil Ikut Sumbang Kenaikan Harga Beras
Harga beras melambung tinggi dalam beberapa bulan terakhir menyebabkan kekhawatiran masyarakat. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Harga beras yang terus merangkak naik memancing kekhawatiran. Selain para pedagang beras, yang paling terdampak dengan kenaikan harga beras yang gila-gilaan adalah sektor rumah tangga.

Harga eceran besar premium bahkan mencapai Rp17.000 per kg. Angka tersebut naik hampir Rp5.000 dibandingkan pada bukan Desember 2022. Sontak kenaikan harga beras pun menjadi perbincangan masyarakat. Maklum, beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat di Indonesia.

Kenaikan harga gabah baik GKP (Gabah Kering Panen) maupun GKG (Gabah Kering Giling) disebut sebagai salah satu penyebab adanya kenaikan harga beras yang meroket belakangan ini.

Potensi Harga Makin Meroket

Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori mengatakan, selain karena harga gabah yang melonjak, kenaikan harga beras disebabkan karena pasokan yang terbatas. Hal ini terjadi lantaran musim panen raya pada Februari sampai Mei sudah lewat.

Khudori khawatir musim panas yang diprediksi lebih panjang dari biasanya juga akan ikut berperan membuat harga makin merangkak. Pasalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika memprediksi musim panas ini tahun ini bisa lebih lama lantaran adanya dampak El Nino.

“Mulai Oktober nanti kita mulai masuk musim paceklik yg berarti produksi lebih kecil lagi. Ini berlangsung, jika cuaca normal, sampai Januari tahun depan. Tapi karena ada El Nino bisa saja bertambah panjang satu atau dua bulan. Artinya musim paceklik jadi lebih lama. Ini potensial terus mengerek harga gabah dan beras lebih tinggi. Seberapa tinggi? Tergantung sejauh mana intervensi pasar yang dilakukan pemerintah,” tutur Khudori kepada VOI.

Fenomena El Nino yang menjadi headline di berbagai media nasional dalam beberapa bulan terakhir ini juga berdampak besar pada sektor pertanian. Sejumlah pihak memperkirakan produksi padi akan turun 1,5 juta ton GKG. Bahkan, ada yang memperkirakan produksi beras turun hingga lima persen.

Melakukan impor beras untuk saat ini bisa menjadi solusi jangka pendek untuk mengerem kenaikan harga supaya tak makin melambung. (Antara)

Khudori mengharapkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk bergerak cepat melakukan pelbagai upaya demi menekan kenaikan harga beras jangka pendek. Upaya yang dapat dilakukan antara lain mempercepat tanam di wilayah yang ada air, membantu pompa, memberikan bantuan bibit berumur genjah, serta menyiapkan 500 ribu hektar penanaman baru.

“Ini mesti dikawal dengan baik. Agar jika El Nino benar-benar berdampak cukup berat, tetap ada produksi yang mengompensasi. Tapi ini semua masih akan bisa dipetik hasilnya November atau Desember nanti. Hasilnya pun belum bisa diperkirakan seperti apa,” Khudori menambahkan.

Melakukan impor beras untuk saat ini bisa menjadi solusi jangka pendek untuk mengerem kenaikan harga supaya tak makin melambung. Ketika ketersediaan beras di pasaran aman, maka kenaikan harga bisa ditekan. Selain itu, program bantuan sosial (bansos) dari pemerintah juga bisa membuat harga beras relatif stabil.

“Opsi memastikan kuota impor dua juta ton kepada Bulog agar direalisasikan semua. Jika itu bisa dilakukan, semoga pasokan lebih memadai. Intervensi pemerintah dalam bentuk bansos beras yg disalurkan September hingga November tentu bisa mengerem kenaikan harga agar tidak makin tinggi. Mengacu bansos beras pada Maret-Mei lalu, ternyata harga beras relatif stabil. Naik tapi tipis. Inflasi beras pun rendah,” kata Khudori menjelaskan.

Diversifikasi Pangan Belum Berhasil

Keterbatasan stok beras sebenarnya sudah menjadi bahasan sejak beberapa bulan lalu, seiring dengan peringatan BMKG terhadap fenomena El Nino yang bisa memicu kekeringan panjang. Di masa itu pula, program diversifikasi pangan kembali dibahas. Diversifikasi pangan disebut bisa menjadi salah satu solusi mengatasi kekurangan terhadap ketersediaan beras.

Diversifikasi pangan merupakan upaya untuk mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi sehingga tidak terfokus pada satu jenis saja. Tujuan diversifikasi pangan adalah untuk menggali dan meningkatkan penyediaan berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat.

Sayangnya, program diversifikasi pangan juga masih jauh dari kata berhasil. Padahal menurut Khudori, jika program diversifikasi pangan berhasil akan membantu menekan permintaan terhadap beras.

“Upaya diversifikasi pangan masih jauh dari berhasil. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih parsial. Kalau diversifikasi berhasil, tekanan permintaan ke beras akan turun,” ungkapnya.

Diversifikasi pangan belum berhasil karena adanya generalisasi pangan, contohnya adalah beras. (Antara)

Uli Arta Siagian selaku Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan diversifikasi pangan. Salah satunya adalah dengan hanya fokus pada satu jenis bahan pangan, contohnya beras.

“Diversifikasi pangan bisa dilakukan untuk mengantisipasi gagal panen, tapi harus memperhatikan dua hal, yaitu cara tradisional masyarakat serta jenis tanaman lokal yang ditanam. Karena percuma jika aktornya diserahkan kepada korporasi atau jenisnya umum tanpa melihat pangan apa yang kembangkan,” tutur Uli Arta kepada VOI beberapa waktu lalu. 

“Diversifikasi pangan sebenarnya bukan hal baru. Kata diversifikasi muncul dari ruang akademi, tapi sebetulnya di banyak wilayah, di kampung-kampung mereka melakukan hal yang sama. Mereka punya jenis pangan lain yang ditanam di lahan sendiri, mereka tinggal ambil makanan yang mereka tanam misalnya sayuran. Itulah yang mereka lakukan atau yang kita sebut kedaulatan pangan,” kata Uli Arta menegaskan.