Bagaimana Perubahan Iklim Memperparah Bencana Alam
Ilustrasi foto (Markus Spiske/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Perubahan iklim makin jadi ancaman serius bagi kehidupan manusia di planet bumi. Sekelompok ilmuwan iklim dunia mengungkap bagaimana perubahan iklim memengaruhi rentetan cuaca ekstrem belakangan ini.

Kebakaran hutan di Amerika Serikat (AS), hujan deras di Afrika, hingga gelombang panas yang mengancam California hingga Siberia adalah beberapa contoh yang diangkat. Dan manusia memegang andil dalam bencana-bencana itu.

“Kami melihat munculnya beberapa sinyal yang hampir tidak mungkin terjadi tanpa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia,” kata salah satu ilmuwan iklim di Universitas Swiss ETH Zurich, Sonia Seneviratne dikutip Reuters, Kamis, 10 September.

Sonia menambahkan perubahan iklim dapat memperparah bencana alam, termasuk badai atau gelombang panas tersebut. Perilaku manusia semakin hari terus memperburuk keadaan dengan sumbangan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar.

Para ilmuwan pun telah melakukan simulasi untuk memahami kaitan cuaca ektrem dan perubahan iklim. Mereka turut memperhitungkan pengamatan cuaca yang dilakukan selama beberapa dekade terakhir untuk mendapat gambaran yang luas.

Hasilnya, perubahan iklim memiliki pengaruh besar terhadap cuaca ekstrem yang menyebabkan ragam bencana, seperti banjir, kebakaran, dan lain sebagainya. "Apa yang orang katakan tentang cuaca ekstrem tak dapat dikaitkan dengan perubahan iklim adalah tidak benar,” kata Sonia.

Gelombang panas

Menurut para ilmuwan, peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang panas di seluruh dunia erat kaitannya dengan perubahan iklim. Mereka memberi contoh naiknya suhu di Siberia dan kebakaran hutan besar-besaran di Rusia sebagai akibat dari keganasan perubahan iklim.

Hubungan perubahan iklim dan gelombang panas dikuatkan oleh fakta dari tahun 2018. Yang mana pada tahun tersebut, gelombang panas secara bersamaan melanda Eropa, Jepang, dan Amerika Utara.

Studi pun menemukan bahwa kemungkitan peristiwa tersebut terjadi secara bersamaan takkan mungkin terjadi jikalau tak ada peningkatan emisi dari industri-industri yang ada di dunia. “Terkait gelombang panas, kami melihat bahwa perubahan iklim adalah pengubah permainan yang mutlak,” kata seorang ilmuwan iklim lainnya dari Universitas Oxford, Friederike Otto.

Bukan cuma Otto, Seorang Ilmuwan iklim dari Universitas California, Daniel Swain mengungkap hal yang sama. Akan tetapi, dirinya berkelakar perubahan iklim tidak terlalu mengganggu kestabilan pola cuaca secara historis. “Dalam banyak kasus, itu (perubahan iklim) memperkuat hadirnya cuaca ekstrem.

Hujan badai dan banjir

Tak hanya gelombang panas, para ilmuwan pun meyakini adanya bencana alam seperti badai, hujan, dan banjir erat kaitannya dengan perubahan iklim. Ambil contoh dalam bencana banjir. Peneliti dari Universita Bristol, Inggris telah menerbitkan penelitiannya yang menemukan bahwa perubahan iklim dapat membuat hujan badai lima kali lebih mungkin terjadi di Karibia.

Bencana tersebut sangat memungkinkan karena emisi yang kian hari kian bertambah. Bukan cuma itu, gelombang panas yang menaikkan suhu laut pun memiliki kemunginan besar berkontribusi terhadap curah hujan dan banjir ekstrem di China. Terbukti, pada musim panas ini saja, China telah mengalami banjir paling parah dalam tiga dekade terakhir.

“Kejadian curah hujan yang ekstrim akan menjadi lebih ekstrim. Itu adalah sesuatu yang kami rasakan, ” kata seorang ilmuwan iklim di Scripps Institution of Oceanography di California, Shang-Ping Xie.

Di Afrika pun begitu adanya. Baru-baru ini negara-negara di Afrika telah mengalami hujan lebat dan banjir parah. Tercatat, puluhan ribu orang telah kehilangan tempat tinggal akibat banjir dari Sungai Nil di Sudan. Sedangkan, di negara lain, Senegal, malah terjadi curah hujan yang berlebihan dan telah menjadi pemandangan tak biasa di kawasan tersebut.

“Ada banyak bukti yang terus berkembang yang memberi tahu kita bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia memengaruhi peristiwa ekstrem. Sangat jarang hal ini terjadi,” tutup ilmuwan iklim di Administrasi Atmosfer dan Kelautan Nasional AS, James Kossin.