Bagikan:

JAKARTA - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa harus dapat menegaskan relevansinya, kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Arrmanatha Ch. Nasir pada Hari Senin, menyerukan dihentikannya kebuntuan di tengah situasi global yang semakin kompleks.

Itu disampaikannya saat mengikuti sidang terbuka DK PBB yang membahas isu Timur Tengah dan Palestina pada Hari Senin di Markas PBB, New York, Amerika Serikat.

Wamenlu RI yang akrab disapa Pak Tata tersebut hadir dalam pertemuan dengan agenda "Middle East, including the Palestinian Question". Itu telah menjadi salah satu agenda utama DKK PBB selama lebih dari 7 dekade dan dibahas secara berkala setiap tiga bulanan.

Dalam kesempatan tersebut, Wamenlu RI mengajak agar DK PBB dapat menegaskan relevansinya.

Di tengah situasi global yang semakin kompleks, Wamenlu RI menyerukan, terutama negara anggota tetap DK PBB, untuk menghentikan kebuntuan dan mendorong reformasi DK PBB.

"Sejarah akan menilai apakah DK PBB mampu bangkit menghadapi tantangan atau justru menjadi tidak relevan," kata Wamenlu RI dalam keterangan Kementerian Luar Negeri RI pada Hari Selasa, 21 Januari.

dk pbb
Ilustrasi pemungutan suara di DK PBB. (Wikimedia Commons/U.S. Department of State)

Sebelumnya, Wamenlu RI dalam pertemuan tersebut meminta DK PBB harus memastikan setiap fase kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza dijalankan, menghentikan kekerasan yang berulang, menyusul kesepakatan gencatan senjata antara kelompok militan Palestina Hamas dengan Israel.

"DK PBB harus memastikan setiap fase kesepakatan ini dijalankan sepenuhnya dan menghentikan siklus kekerasan yang terus berulang," tegas Pak Tata.

Dalam kesempatan yang sama Wamenlu RI juga menekankan, mengakhiri krisis kemanusiaan dan mengembangkan solusi politik untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel menjadi dua hal yang harus menjadi fokus utama, usai disepakatinya gencatan senjata.

Konflik terbaru Hamas dan Israel yang pecah Oktober 2023 kembali membuat dewan yang beranggotakan 15 negara, 5 negara tetap dengan hak veto dan 10 negara tidak tetap, menjadi sorotan usai penggunaan veto dalam pemungutan suara resolusi mengenai krisis di Gaza. Ditambah dengan krisis Rusia-Ukraina, Dewan Keamanan mendapatkan sorotan tajam.

Februari tahun lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres menyesalkan kegagalan Dewan Keamanan PBB dalam menanggapi konflik Hamas-Israel dan invasi Rusia ke Ukraina, mengatakan perlunya reformasi pada badan tersebut, menilai konflik-konflik tersebut telah melemahkan otoritasnya.

Berbicara pada pembukaan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Sekjen Guterres mengatakan Dewan Keamanan PBB sering menemui jalan buntu dan "tidak dapat bertindak atas isu-isu perdamaian dan keamanan yang paling penting di masa kini".

arrmanatha ch. nasir
Wamenlu RI Arrmanatha Ch. Nasir dalam pertemuan DK PBB. (Sumber: Kemlu RI)

"Kurangnya persatuan Dewan Keamanan dalam invasi Rusia ke Ukraina, dan dalam operasi militer Israel di Gaza setelah serangan teror mengerikan oleh Hamas pada 7 Oktober lalu, telah sangat, mungkin secara fatal, merusak otoritasnya," kata Sekjen Guterres, melansir Reuters.

"Dewan membutuhkan reformasi serius terhadap komposisi dan metode kerjanya," lanjutnya.

Dalam unggahan di media sosial X Agustus lalu, Sekjen Guterres mengatakan badan global teratas tersebut dirancang oleh para pemenang Perang Dunia II.

"Dunia telah berubah tetapi komposisi Dewan tidak mengikuti perkembangan," cuit Sekjen Guterres, seraya menambahkan bahwa tidak dapat diterima bahwa Afrika – dengan lebih dari satu miliar penduduk – tidak memiliki anggota tetap.

"Suara, wawasan & partisipasi Afrika harus disuarakan dalam pertimbangan & tindakan Dewan," lanjut Sekjen Guterres.

Dewan Keamanan adalah badan terpenting Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertanggung jawab atas penyelesaian konflik dan pemeliharaan perdamaian.

Ini satu-satunya badan PBB yang keputusannya mengikat secara hukum negara-negara anggota PBB, serta dapat mengesahkan penggunaan kekuatan dan menjatuhkan sanksi.

Dewan ini terdiri dari 15 dari 193 negara anggota PBB. Lima di antaranya merupakan anggota tetap dan memiliki hak veto, yakni Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris dan Prancis. Sementara, 10 anggota lainnya merupakan anggota tidak tetap, bergantian di antara anggota PBB lainnya setiap dua tahun.

Selama bertahun-tahun, badan tersebut dianggap tidak mampu bertindak karena blokade bersama oleh AS, Tiongkok, dan Rusia pada isu-isu utama. Reformasi mendasar Dewan Keamanan telah dibahas selama beberapa dekade tanpa kemajuan apa pun.