Di Balik Sanksi Baru yang Diberikan Trump untuk Iran
Donald Trump (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Amerika Serkat (AS) memberikan sanksi baru terhadap Iran. Kali ini giliran yayasan yang dikendalikan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang jadi sasaran. AS menarget yayasan yang mereka sebut ada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada 2019.

Sanksi yang diumumkan oleh Departemen Keuangan AS juga menargetkan menteri intelijen Iran. Hal ini mengindikasikan bahwa Presiden Donald Trump memperkuat kampanye "tekanan maksimum" terhadap Iran. Aturan tersebut muncul kurang dari dua bulan Trump menyerahkan kekuasaan kepada Joe Biden.

Mengutip Reuters, Kamis 19 November, Departemen Keuangan menjatuhkan sanksi pada apa yang digambarkannya pihak AS sebagai jaringan patronase utama untuk Khamenei. Bonyad Mostazafan atau Yayasan Kaum Tertindas, yayasan yang dibawahi Khamenei, dimasukkan ke dalam daftar hitam. Selain yayasan tersebut, terdapat 10 individu dan 50 anak perusahaan yayasan di berbagai sektor termasuk energi, pertambangan dan jasa keuangan Iran yang akan dimasukkan ke dalam daftar hitam.

Sanksi tersebut juga melarang orang AS berbisnis dengan pihak terkait dari daftar tersebut. Siapa pun yang melakukan transaksi tertentu dengan individu dan entitas ini berisiko terkena sanksi dari AS. 

Dalam sebuah keterangan, Departemen Keuangan AS juga menuduh Khamenei menggunakan kepemilikan yayasan untuk memperkaya kantornya, memberi penghargaan kepada sekutu politiknya, dan menganiaya musuh rezim. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan dalam pernyataannya: "AS akan terus menargetkan pejabat utama dan sumber penghasil pendapatan yang memungkinkan penindasan berkelanjutan rezim terhadap rakyatnya sendiri."

Ketegangan AS-Iran meningkat sejak Trump meninggalkan kesepakatan nuklir Iran 2015 yang dibuat oleh pendahulunya, Barack Obama. Trump membuat sanksi ekonomi yang keras yang dirancang untuk mengekang program nuklir Iran, pengembangan rudal balistik dan dukungan pasukan proxy regional.

Menyulitkan Biden?

Presiden terpilih AS Joe Biden, yang akan menjabat pada 20 Januari, mengatakan dia akan mengembalikan AS ke kesepakatan nuklir jika Iran melanjutkan kepatuhannya. Beberapa analis mengatakan bahwa sanksi tambahan AS yang ditumpuk Trump tampaknya ditujukan untuk mempersulit Biden untuk terlibat kembali dengan Iran setelah menjabat.

"Pemerintahannya jelas, dan saya pikir secara transparan, mencoba menaikkan biaya politik bagi Biden jika kembali terlibat dengan Iran dan mencabut sanksi kesepakatan nuklir," kata Henry Rome, seorang analis Iran di Eurasia Group.

Roma mengatakan langkah Trump terhadap Iran baru-baru ini dapat mempermalukan pemimpin tertinggi, menghalangi perusahaan non-AS untuk berurusan dengan yayasan Iran, dan menempatkan pemerintahan Biden dalam posisi yang berpotensi sulit membenarkan mengapa mereka melakukannya.

Departemen Keuangan juga menjatuhkan sanksi kepada Menteri Intelijen Iran Mahmoud Alavi dan menuduh kementeriannya memainkan peran dalam pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap warga Iran, termasuk selama protes tahun lalu. Departemen Luar Negeri AS juga menunjuk dua pejabat Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC), menuduh mereka terlibat dalam pembunuhan hampir 150 orang di kota Mahshahr selama penumpasan tahun lalu. Sanski yang diberi adalah melarang mereka dan keluarga dekat mereka bepergian ke AS.

Tindakan keras 2019 mungkin merupakan penindasan paling berdarah terhadap pengunjuk rasa di Iran sejak revolusi 1979. Sekitar 1.500 orang tewas selama kurang dari dua minggu kerusuhan yang dimulai pada 15 November 2019. Jumlah korban tersebut diberikan oleh tiga pejabat Kementerian Dalam Negeri Iran.

Kementerian Dalam Negeri Iran mengatakan sekitar 225 orang tewas selama protes, yang meletus setelah media pemerintah mengumumkan bahwa harga gas akan naik sebanyak 200 persen. Akibat kenaikan tersebut, pendapatan akan digunakan untuk membantu keluarga yang membutuhkan.