Penyelamatan WNI di Kamboja Bukti Negara Serius Perangi Perbudakan Modern
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Fadjar Dwi Wishnuwardhani. (Foto KSP)

Bagikan:

JAKARTA - Kantor Staf Presiden menyampaikan apresiasi kepada semua pihak terutama Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan KBRI Kamboja yang telah menyelamatkan 62 Pekerja Migran Indonesia (PMI) korban penipuan dan penyekapan di Kamboja.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Fadjar Dwi Whisnuwardhani menegaskan, upaya cepat dan efektif pemerintah dalam penyelamatan PMI di Kamboja, bukti negara tidak pernah mentolerir segala bentuk aksi perdagangan orang dan perbudakan modern.

"Proses penyelamatan itu menunjukkan bahwa negara sudah hadir dan negara tidak kalah terhadap upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang berniat mencelakakan WNI," tegas Fadjar, di gedung Bina Graha Jakarta, Jum'at 5 Agustus.

Sebagai informasi, Kementerian Luar Negeri dan KBRI Kamboja baru-baru ini melakukan penyelamatan terhadap 62 PMI yang mengalami penyekapan di Kamboja, dan menjadi korban penipuan atas peluang kerja yang ditawarkan. Pekerjaan bodong tersebut, disertai dengan iming-iming gaji sebesar 1000 – 1500 dolar atau jika dirupiahkan sebesar 15 – 22 juta rupiah.

Setelah para PMI tersebut berangkat dan tiba di suatu perusahaan di Kamboja, mereka bekerja bukan menjadi marketing namun menjadi operator sebuah investasi bodong dan penipuan. Selain itu, PMI tidak mendapatkan gaji sesuai dengan tawaran, dipekerjakan tidak sesuai dengan jam kerja atau overwork, dan paspor pekerja migran ditahan oleh para agen-agen di Phnom Penh.

"Kasus ini diduga termasuk dalam perbudakan modern atau dapat dikatakan perdagangan manusia," jelas Fadjar.

"Pemerintah pastikan menindak tegas permainan para oknum dan sindikat juga pelanggaran yang terjadi," tandasnya.

Fadjar mengungkapkan, Kamboja merupakan salah satu negara yang baru-baru ini menjadi sarang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) termasuk dari Indonesia. Untuk itu, KSP mendorong Kemlu untuk mengevaluasi perlindungan hukum untuk PMI di Kamboja, dan memperketat proses penempatannya.

"KSP mengajak Kemlu untuk membuat perjanjian bilateral dengan pihak Kamboja agar kasus-kasus seperti ini bisa dituntaskan dalam kerjasama perlindungan kedua negara," tuturnya.

Fadjar juga menekankan pentingnya pembentukan protokol aktif, responsif, dan terintegrasi antar semua lini, untuk menutup iklan, lowongan, dan tawaran penempatan kerja luar negeri yang terbukti mengandung unsur penipuan. Terlebih, ujar dia, kasus serupa dengan modus berbeda telah terjadi. Sehingga perlu ada penguatan aspek koordinasi dalam penanganannya.

"Kami (KSP) juga menghimbau agar Calon PMI harus lebih berhati-hati dalam merespons tawaran dan iklan penempatan kerja di Luar Negeri, jangan tergiur dengan tawaran yang belum jelas kebenarannya," imbau Fadjar.

Sebagai informasi, Sebanyak 16 orang dari 62 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang menjadi korban penyekapan di Kamboja akan pulang ke Tanah Air melalui Bandara Soekarno-Hatta (Soeta) Tangerang, Banten pada Jumat, 5 Agustus.

Sesuai prosedur operasi standar Kementerian Luar Negeri, semua orang Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia akan menjalani pertanyaan sesuai dengan formulir penyaringan untuk identifikasi korban perdagangan manusia sebelum dideportasi ke Indonesia.