PBNU Diminta Tegas Sikapi Wacana Penundaan Pemilu
Ilustrasi/Foto: Antara

Bagikan:

JAKARTA - Pengamat politik Universitas Paramadina A Khoirul Umam berharap agar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah menyatakan sikap mereka secara tegas terkait wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

“Saya sangat berharap Islamic-based civil society (masyarakat sipil berbasis Islam, red.), khususnya PBNU dan Muhammadiyah itu sikapnya, statement-nya harus clear,” kata Khoirul dalam webinar bertajuk Wacana Penundaan Pemilu: Membaca Motif Ekonomi-Politik dan Dampaknya pada Demokrasi di Indonesia yang disiarkan di kanal YouTube Universitas Paramadina, dipantau dari Jakarta, Rabu 2 Maret.

Khoirul mengatakan bahwa meskipun PBNU dan Muhammadiyah merupakan organisasi masyarakat, kedua organisasi tersebut memiliki dampak politik yang besar terhadap masyarakat Indonesia.

“Memiliki bobot politik yang besar,” ucap dia.

Oleh karena itu, dalam konteks penundaan Pemilu 2024, Khoirul berharap agar PBNU dan Muhammadiyah berikut dengan masyarakat sipil berbasis Islam lainnya dapat memainkan peran mereka secara optimal dalam menggerakkan masyarakat.

“Kalau misal memang kekuatan masyarakat sipil semakin terdiaspora, media terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan pemilik modal, maka salah satunya yang bisa tetap diperkuat adalah masyarakat sipil berbasis Islam ini,” kata Khoirul.

Khoirul berharap agar Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau yang kerap disapa Gus Yahya dapat memberi pernyataan sikap PBNU secara tegas, mengingat dampak PBNU yang cukup luas terhadap pembangunan dalam konteks pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.

“Bisa menjadi pengimbang dari proses yang kurang seimbang,” kata Khoirul.

Sebelumnya, Khoirul menyesalkan Gus Yahya yang menilai penundaan pemilu sebagai tindakan yang masuk akal. Khoirul berpandangan bahwa tanggapan tersebut bertentangan dengan komitmen Gus Yahya yang baru terpilih sebagai Ketua Umum PBNU yang mengatakan akan lebih fokus pada politik kebangsaan dan menghindari politik praktis.

“Wajar NU dekat dengan kekuasaan. Akan tetapi, meskipun dekat, jangan sampai NU kehilangan nalar kritisnya,” ucapnya.