Ungkit Keturunan Menag Yaqut dan KSAD Dudung Cucu dari Wali Songo, Eks Jubir PSI Sindir Pedas Pegiat Medsos Ini
Ilustrasi-Unsplash

Bagikan:

JAKARTA - Kicauan pegiat media sosial Bachrum Achmadi disorot warganet usai mengungkit jejak keturunan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman. 

Dalam cuitannya sebagaimana dilansir Rabu, 2 Maret, Bachrum menulis kalau Menag Yaqut merupakan anak dari sepuh Nahdlatul Ulama (NU) hingga KSAD Dudung cucu dari Wali Songo. Hingga berita ini diturunkan, cuitan tersebut mendapat 1.583 suka dan 239 Retweet.

"Yakut anak Kiai sepuh NU, Dudung ktnya cucu Walisongo. Trus knp emangnya...? Mentang2 anak kiai, cucu walisongo dijamin sdh paling bener gitu? Ngimpi!," cuit Bachrum di Twitter @bachrum_achmadi.

Salah satu yang merespons adalah Direktur Eksekutif Center for Youth and Population Research (CYR), Dedek Prayudi. Dengan pedas, Dedek me-reply cuitan Bachrum. 

"Kalau ngomongin Gus Yaqut dan Jend Dudung, mindsetnya jadi egaliter. Coba ngomongin Rizieq dan Bahar pake mindset yang sama," cuit mantan Jubir PSI ini di akun Twitternya, @Uki23. 

Nama Menag Yaqut beberapa waktu belakangan ini disorot karena pernyataan kontroversialnya. Berawal dari penjelasan Menag Yaqut soal surat edaran mengatur penggunaan Toa di masjid dan musala. 

Terbitnya SE ini untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat. Menag Yaqut lantas memberikan ilustrasi jika ada seorang muslim tinggal di lingkungan nonmuslim yang memelihara anjing dan pasti akan terganggu dengan suara anjing tersebut.

"Soal aturan azan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid-musala menggunakan Toa, tidak. Silakan. Karena itu syiar agama Islam," ujar Yaqut di Gedung Daerah Provinsi Riau, Rabu, 23 Februari. 

Meskipun begitu, ia minta volume suara Toa diatur maksimal 100 dB (desibel). Selain itu, waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan.

"Tetapi ini harus diatur bagaimana volume speaker tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai gunakan speaker itu sebelum dan setelah azan. Tidak ada pelarangan," Yaqut menegaskan.

Yaqut menilai aturan dibuat hanya untuk menciptakan rasa harmonis di lingkungan masyarakat. Termasuk meningkatkan manfaat dan mengurangi yang tidak ada manfaatnya.

"Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan," katanya.

Yaqut menilai suara-suara Toa di masjid selama ini adalah bentuk syiar. Hanya, jika dinyalakan dalam waktu bersamaan, akan timbul gangguan.

"Karena kita tahu, misalnya ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100-200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka menyalakan Toa bersamaan di atas. Itu bukan lagi syiar, tapi gangguan buat sekitarnya," katanya.

"Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim menghidupkan toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng, itu rasanya bagaimana," kata Yaqut lagi.

Ia kemudian mencontohkan suara-suara lain yang dapat menimbulkan gangguan. Salah satunya suara gonggongan anjing.

"Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu," katanya.

Yaqut kemudian meminta agar suara Toa diatur waktunya. Jadi niat untuk syiar tidak menimbulkan gangguan masyarakat.

"Agar niat menggunakan speaker sebagai untuk sarana, melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan dan tidak mengganggu," kata Yaqut.